Pages

3. SETELAH KATA-KATA TIDAK BERDAYA

Rabu, 16 Juli 2014

Antara Peristiwa Timika dan penculikan Tim Lorentz tampaknya memiliki benang merah. Empat penduduk yang hilang itu adalah kerabat dekat Kelly, yang disebut-sebut sebagai Panglima Komando Daerah Pertahanan III Fakfak. Adalah pasukan Kelly, yang berjumlah sekitar 200 orang, yang menyerang dan menyandera 26 anggota Tim Lorentz. Komandan pelaksana penculikan adalah Daniel Yudas Kogoya, yang dise-but-sebut sebagai komandan operasi Kelom-pok Kelly. Ikut disandera mereka, seorang bayi berumur enam bulan. Para sandera mereka pecah menjadi dua, dan dilarikan ke arah berbeda.
Bedil akhirnya harus me-nyalak setelah kata-kata tidak mampu mendesak Kel-ly Kwalik membebaskan 11 sandera yang ditahannya. Lewat Operasi Cenderawa-sih, 15 Mei lalu, satuan ABRI menusuk persembunyian gerakan pengacau keamanan (GPK) yang dipimpin Kelly. Sembilan san-dera berhasil diselamatkan, dan dua orang lainnya tewas dibacok penyandera mereka.
Dalam pertemuan itu, para rohaniwan minta Kelly membebaskan semua sandera. Namun yang dibebaskan hanya Frank Momberg, aktivis World Wildlife Fund (WWF). Dua hari kemudian menyusul Nyonya Ola Yakobus dan bayinya. Pada 21 Januari, masih berkat negosiasi para rohani-wan, suami Ola, Yakobus Wandikbo, mem-peroleh giliran dibebaskan.
Gerak cepat ABRI tersebut memang membuahkan hasil. Empat hari setelah penyanderaan, pasukan ABRI memergoki kelompok GPK yang melarikan sembilan sandera ke arah Desa Digi. Tanpa perlawa-nan berarti, para sandera, yang semuanya warga Mapenduma, berhasil diselamatkan. Kesembilan sandera itu adalah aparat Desa Mapenduma (3 orang), guru (2 orang), pegawai Puskesmas (2 orang), dan petugas lapangan Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya (2 orang).
ICRC, menurut pengakuan Fournier, telah melakukan banyak hal. Selain mem-buka kembali komunikasi antara OPM dan dunia luar, ICRC juga menjaga kesehatan sandera. Secara rutin, lembaga ini mengi-rim dokter ke lokasi penyanderaan. Boleh dikatakan, hampir tiap hari ada orang ICRC di markas Kelly.
Jajaran militer segera menggelar upaya pembebasan. Sejumlah satuan, yang terdiri dari Batalyon 751 (Sentani), Batalyon 753 (Sorong), dan Batalyon Kostrad (Ujung Pandang), diturunkan untuk memburu. Pada 11 Januari, didatangkan lagi pasukan bantuan, yakni satu kompi (sekitar 90 orang) anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari Cijantung, Jakarta. Empat helikopter juga disiapkan untuk mendukung operasi pem-bebasan sandera.
Kelly, menurut Fournier, hanya bersedia melepas semua sandera apabila diperintahkan oleh pimpinan GPK OPM di luar negeri. “Kami segera mengontak para pim-pinan OPM di Belanda, Australia, dan Papua Nugini,” kata Fournier. Hasilnya lumayan. Suatu kali, di bulan Februari, ICRC dititipi surat oleh pimpinan OPM di Papua Nugini dan Belanda, tidak disebutkan namanya, yang berisi perintah agar Kelly melepas para sandera paling lambat dua bulan setelah penyanderaan. Surat senada dikirim pula oleh Moses Werror, yang mengklaim seba-gai Presiden OPM, dan kini bermukim di Papua Nugini. Ternyata Kelly tidak meng-gubris permintaan atasannya tersebut.
Kisah dramatis itu bermula pada 8 Jan-uari lalu. Ketika itu sebanyak 26 anggota Tim Ekspedisi Lorentz 1995 sedang melakukan penelitian keanekaragaman hay-ati di Cagar Alam Lorentz. Penelitian yang dilakukan di dataran tinggi seluas 15.000 kilometer persegi di jantung Irian Jaya itu bermula pada November 1995. Dan mereka membangun base camp di Desa Mapen-duma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayaw-ijaya. Desa ini memang masuk dalam kawasan cagar alam.
Lantaran sudah lama ditahan, dan diberi makan seadanya, secara medis kondisi sandera kian mencemaskan. Beberapa di antara mereka terserang penyakit. Ada empat orang, menurut dokter ICRC, harus segera dibebaskan karena alasan kesehatan. Mereka: Adinda Arimbi Saraswati (Bio-logical Science Club), Markus Warib (Universitas Ceriderawasih), Navy Panekenan (Biological Science Club), dan Martha Klein (WWF). Klein sedang hamil tua.
Namun cara utama yang diupayakan tim pembebasan sandera adalah jalan persuasif. Kontak radio pun dilakukan dengan pihak GPK. Sejumlah rohaniwan diminta menjadi mediator, dan mereka sempat beberapa kali mendatangi sarang GPK tersebut. Pertengahan Januari, misalnya, empat rohaniwan berdialog dengan pentolan GPK di sebuah tempat di sekitar Mapenduma. Para rohaniwan itu adalah Mgr. Herman Ferdinand Marie Munninghoff ( Uskup Jaya-pura), Pendeta Paul Burchart (Ketua Mision-aris Kristen di Irian Jaya), Pendeta Yohanes Gobay (Ketua Wilayah Gereja Kemah Injil), dan Pendeta Adrianus van der Bijl (peng-injil yang sudah tahunan di Mapenduma).
Namun waktu yang dipilih Tim Lorentz tidak tepat. Soalnya, ketika itu GPK Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan pen-dukungnya sedang menggencarkan aksi di sejumlah tempat. Di dekat perbatasan Irian Jaya dan Papua Nugini, awal November 1995, mereka menculik 30 penduduk Desa Ikcan Baru, Kecamatan Waropko, Merauke. Dua pegawai Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, yang kebetulan sedang melakukan survei di desa itu, ikut digondol. Seorang di antaranya  kemudian ditemukan tewas mengenaskan. Masih di bulan November, GPK menyandera Marwiyah Abubakar dan Basyir Kadir, dua siswa SMA Negeri I Kecamatan Arso, Kabupaten Jayawijaya. Keduanya disekap selama dua bulan, dan dibebaskan awal Februari 1996.Sedangkan 17 sandera lagi, di antaranya bayi tadi, yang dibawa ke arah lain, dijadikan “kartu” untuk berunding oleh Kel-ly. Mengingat tempat penahanan sandera terpencar-pencar, maka upaya membe-baskan mereka perlu dilakukan lebih hati-hati. Apalagi di antara sandera itu terdapat sejumlah warga negara asing. Lalu, jumlah personel ABRI ditambah. Di Wamena ter-lihat sekitar 300 prajurit, Berbagai peralatan militer didatangkan ke Wamena, termasuk helikopter. Semua itu disiapkan bila tiba-tiba harus dilakukan operasi militer.
Selain ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia, pendukung GPK di Timika punya alasan lain untuk meradang. Mereka menyimpan dendam terhadap PT Freeport Indonesia, yang mereka anggap telah mengeruk emas di perut bumi Timika. Upaya mengusir Freeport sering dilakukan lewat serangkaian insiden. Petu-gas keamanan terpaksa turun tangan. Antara Oktober 1994 dan 1995, misalnya, pasukan ABRI menggelar serentetan operasi, yang kemudian membuahkan persoalan hak asasi menusia. Menurut catatan Komisi Nasion-al Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) operasi itu menewaskan  16 warga dan menyebabkan 4 penduduk hilang.Sisanya, 13 sandera (di antaranya 2 war-ga Belanda, 4 warga Inggris, dan 1 warga Jerman) ditahan terus oleh pasukan Kelly. Dalam pertemuan terakhir dengan utusan rohaniwan, Munninghoff dan van der Bijl, penyandera mengatakan hanya bersedia membebaskan orang-orang yang di tangan mereka asalkan tujuh tuntutan mereka dipenuhi. Tuntutan itu, antara lain, minta Pe-merintah menghentikan program transmi-grasi, ABRI harus ditarik dari Irian Jaya, dan menuntut agar Perserikatan Bangsa Bangsa mengakui OPM. Setelah menyam-paikan tuntutan para GPK itu, para rohani-wan tidak mau lagi menjadi mediator. Mere-ka menganggap permintaan Kelly tidak masuk akal. Dan sikap Pemerintah pun jelas. “Tak ada negosiasi dengan gerombolan pen-gacau kearnanan,” ujar Panglima ABRI Jen-deral Feisal Tanjung waktu itu.Tentu saja ICRC tak lupa menyampaikan pesan dari pihak Indonesia agar GPK segera membebaskan sandera. Hasilnya lumayan. Pada 10 Februari, Penginjil Zarkeus Elopere dibebaskan. Lalu, pada 15 Maret, GPK membebaskan Abraham Wanggai, peneli-ti dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kanwil Kehutanan Irian Jaya. Setelah pembebasan terakhir ini, tinggal 11 sandera lagi di tangan Kelly.Tindakan militer ditempuh karena pendekatan persuasif gagal membebaskan sanderaWalau menutup pintu negosiasi, pasukan ABRI belum berniat rnenyerbu. Mereka bahkan masih minta Komite Palang Merah Internasional (ICRC) untuk menjadi penen-gah. Sejak 7 Februari, saat hubungan GPK dengan dunia luar terputus, karena tidak ada yang mau menjadi mediator, ICRC pun turun tangan. “Keikutsertaan ICRC dida-sarkan atas permintaan Kelly Kwalik, yang disampaikan melalui misionaris,” cerita Henry Fournier, Kepala ICRC Delegasi Regional Jakarta, yang membawahkan wilayah operasi Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.


Di tengah situasi serba tak pasti itu, musi-bah rnenimpa jajaran ABRI. Dalam sebuah patroli, dua prajurit dikabarkan dibunuh oleh GPK. Korban bertambah dengan terjadinya insiden di posko pasukan ABRI, yang terletak di hanggar lapangan udara di Kecamatan Timika. Pada 15 April subuh, Letnan Dua Sanurip tiba-tiba memberondongkan peluru ke arah orang-orang di sek-itarnya. Sebanyak 16 orang meninggal, 10 anggota ABRI, 5 warga sipil, dan 1 pilot berkebangsaan Selandia Baru. Peristiwa mengenaskan itu diduga bermula dari kondisi Sanurip yang kurang beres. Ada yang mengatakan, perwira per-tama itu tak dapat mengendalikan diri setelah mengetahui ada dua anggota ABRI tewas oleh GPK. Keterangan resmi mengatakan, Sanurip terserang penyakit malaria. Lebih jauh, menurut Kepala Pusat Penerangan ABRI, Brigadir Jenderal Amir Syarifuddin, seseorang yang terkena malaria memang bisa lepas kendali. Dan malaria adalah anca-man lain di Irian Jaya Pihak luar yang mengikuti jalannya operasi pembebasan menjadi geregetan. Dari gedung DPR-RI, misalnya, terdengar desakan agar ABRI segera menempuh tin-dakan militer. Sejauh itu, ABRI masih berta-han dengan upaya persuasif. Bantuan para rohaniwan kembali diminta untuk men-dukung upaya ICRC. Tanggal 7 Mei, orang ICRC membawa kabar gembira bahwa Kelly bersedia menyerahkan semua sandera. Waktu pembebasan ditetapkan 8 Mei, dan akan diadakan upa-cara potong babi sebagai tanda perpisahan. Tanpa buang tempo, pada waktu yang diten-tukan itu, dua helikopter ICRC diterbangkan ke lokasi penyanderaan di Geselama. Mere-ka dikawal lima helikopter TNI, walau tak sampai ke lokasi. Lagi-lagi Kelly berubah pikiran. Ia mengatakan, hanya bersedia me-nyerahkan sandera jika disediakan sejum-lah persenjataan sebagai tebusan. Lalu utu-san ICRC pulang dengan penuh kegemasan. Esoknya, 9 Mei, mereka mengundurkan diri sebagai mediator. “Tidak ada lagi kemung-kinan untuk meneruskan dialog yang membangun. Kami merasa ditipu. Pihak pencu-lik tak memenuhi janji,” kata Lalu operasi militer pun dilancarkan. Setelah petugas ICRC mohon pamit pada ABRI, lima helikopter TNI melesat ke Gese-lama, tempat Kelly bersembunyi. Tapi mere-ka tidak menemukan ada tanda-tanda manu-sia di sana. Ketika pulang ke Timika, sebuah helikopter jatuh di hutan belantara, dan lima penumpangnya tewas. Kelima korban dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ku-suma Trikora, Abepura. Namun pengorba-nan mereka tidak sia-sia. Dalam sergapan 15 Mei, sembilan sandera berhasil dibe-baskan dalam keadaan hidup, dan dua orang lagi telah menjadi mayat. (Priyono B. Sumbogo dan Akmal Nasery Basral)

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

Tidak ada komentar:

 
Copyright © 2015. PRESIDEN ber-NYALI.
Design by . Published by Themes Paper. Powered by .
Creative Commons License