Antara
Peristiwa Timika dan penculikan Tim Lorentz tampaknya memiliki benang merah.
Empat penduduk yang hilang itu adalah kerabat dekat Kelly, yang disebut-sebut
sebagai Panglima Komando Daerah Pertahanan III Fakfak. Adalah pasukan Kelly,
yang berjumlah sekitar 200 orang, yang menyerang dan menyandera 26 anggota Tim
Lorentz. Komandan pelaksana penculikan adalah Daniel Yudas Kogoya, yang
dise-but-sebut sebagai komandan operasi Kelom-pok Kelly. Ikut disandera mereka,
seorang bayi berumur enam bulan. Para sandera mereka pecah menjadi dua, dan
dilarikan ke arah berbeda.
Bedil akhirnya harus me-nyalak
setelah kata-kata tidak mampu mendesak Kel-ly Kwalik membebaskan 11 sandera
yang ditahannya. Lewat Operasi Cenderawa-sih, 15 Mei lalu, satuan ABRI menusuk
persembunyian gerakan pengacau keamanan (GPK) yang dipimpin Kelly. Sembilan
san-dera berhasil diselamatkan, dan dua orang lainnya tewas dibacok penyandera
mereka.
Dalam pertemuan itu, para
rohaniwan minta Kelly membebaskan semua sandera. Namun yang dibebaskan hanya
Frank Momberg, aktivis World Wildlife Fund (WWF). Dua hari kemudian menyusul
Nyonya Ola Yakobus dan bayinya. Pada 21 Januari, masih berkat negosiasi para
rohani-wan, suami Ola, Yakobus Wandikbo, mem-peroleh giliran dibebaskan.
Gerak cepat ABRI tersebut memang
membuahkan hasil. Empat hari setelah penyanderaan, pasukan ABRI memergoki
kelompok GPK yang melarikan sembilan sandera ke arah Desa Digi. Tanpa
perlawa-nan berarti, para sandera, yang semuanya warga Mapenduma, berhasil
diselamatkan. Kesembilan sandera itu adalah aparat Desa Mapenduma (3 orang),
guru (2 orang), pegawai Puskesmas (2 orang), dan petugas lapangan Kantor
Wilayah Kehutanan Irian Jaya (2 orang).
ICRC, menurut pengakuan Fournier,
telah melakukan banyak hal. Selain mem-buka kembali komunikasi antara OPM dan
dunia luar, ICRC juga menjaga kesehatan sandera. Secara rutin, lembaga ini
mengi-rim dokter ke lokasi penyanderaan. Boleh dikatakan, hampir tiap hari ada
orang ICRC di markas Kelly.
Jajaran militer segera menggelar
upaya pembebasan. Sejumlah satuan, yang terdiri dari Batalyon 751 (Sentani),
Batalyon 753 (Sorong), dan Batalyon Kostrad (Ujung Pandang), diturunkan untuk
memburu. Pada 11 Januari, didatangkan lagi pasukan bantuan, yakni satu kompi
(sekitar 90 orang) anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari Cijantung,
Jakarta. Empat helikopter juga disiapkan untuk mendukung operasi pem-bebasan
sandera.
Kelly, menurut Fournier, hanya
bersedia melepas semua sandera apabila diperintahkan oleh pimpinan GPK OPM di
luar negeri. “Kami segera mengontak para pim-pinan OPM di Belanda, Australia,
dan Papua Nugini,” kata Fournier. Hasilnya lumayan. Suatu kali, di bulan
Februari, ICRC dititipi surat oleh pimpinan OPM di Papua Nugini dan Belanda,
tidak disebutkan namanya, yang berisi perintah agar Kelly melepas para sandera
paling lambat dua bulan setelah penyanderaan. Surat senada dikirim pula oleh
Moses Werror, yang mengklaim seba-gai Presiden OPM, dan kini bermukim di Papua
Nugini. Ternyata Kelly tidak meng-gubris permintaan atasannya tersebut.
Kisah dramatis itu bermula pada 8
Jan-uari lalu. Ketika itu sebanyak 26 anggota Tim Ekspedisi Lorentz 1995 sedang
melakukan penelitian keanekaragaman hay-ati di Cagar Alam Lorentz. Penelitian
yang dilakukan di dataran tinggi seluas 15.000 kilometer persegi di jantung
Irian Jaya itu bermula pada November 1995. Dan mereka membangun base camp di
Desa Mapen-duma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayaw-ijaya. Desa ini memang masuk
dalam kawasan cagar alam.
Lantaran sudah lama ditahan, dan
diberi makan seadanya, secara medis kondisi sandera kian mencemaskan. Beberapa
di antara mereka terserang penyakit. Ada empat orang, menurut dokter ICRC,
harus segera dibebaskan karena alasan kesehatan. Mereka: Adinda Arimbi
Saraswati (Bio-logical Science Club), Markus Warib (Universitas Ceriderawasih),
Navy Panekenan (Biological Science Club), dan Martha Klein (WWF). Klein sedang
hamil tua.
Namun cara utama yang diupayakan
tim pembebasan sandera adalah jalan persuasif. Kontak radio pun dilakukan
dengan pihak GPK. Sejumlah rohaniwan diminta menjadi mediator, dan mereka
sempat beberapa kali mendatangi sarang GPK tersebut. Pertengahan Januari,
misalnya, empat rohaniwan berdialog dengan pentolan GPK di sebuah tempat di
sekitar Mapenduma. Para rohaniwan itu adalah Mgr. Herman Ferdinand Marie
Munninghoff ( Uskup Jaya-pura), Pendeta Paul Burchart (Ketua Mision-aris Kristen
di Irian Jaya), Pendeta Yohanes Gobay (Ketua Wilayah Gereja Kemah Injil), dan
Pendeta Adrianus van der Bijl (peng-injil yang sudah tahunan di Mapenduma).
Namun waktu yang dipilih Tim
Lorentz tidak tepat. Soalnya, ketika itu GPK Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan
pen-dukungnya sedang menggencarkan aksi di sejumlah tempat. Di dekat perbatasan
Irian Jaya dan Papua Nugini, awal November 1995, mereka menculik 30 penduduk
Desa Ikcan Baru, Kecamatan Waropko, Merauke. Dua pegawai Direktorat Jenderal
Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, yang kebetulan sedang melakukan survei di
desa itu, ikut digondol. Seorang di antaranya kemudian ditemukan tewas
mengenaskan. Masih di bulan November, GPK menyandera Marwiyah Abubakar dan
Basyir Kadir, dua siswa SMA Negeri I Kecamatan Arso, Kabupaten Jayawijaya.
Keduanya disekap selama dua bulan, dan dibebaskan awal Februari 1996.Sedangkan 17 sandera lagi, di
antaranya bayi tadi, yang dibawa ke arah lain, dijadikan “kartu” untuk
berunding oleh Kel-ly. Mengingat tempat penahanan sandera terpencar-pencar,
maka upaya membe-baskan mereka perlu dilakukan lebih hati-hati. Apalagi di
antara sandera itu terdapat sejumlah warga negara asing. Lalu, jumlah personel
ABRI ditambah. Di Wamena ter-lihat sekitar 300 prajurit, Berbagai peralatan militer
didatangkan ke Wamena, termasuk helikopter. Semua itu disiapkan bila tiba-tiba
harus dilakukan operasi militer.
Selain ingin memisahkan diri dari
Republik Indonesia, pendukung GPK di Timika punya alasan lain untuk meradang.
Mereka menyimpan dendam terhadap PT Freeport Indonesia, yang mereka anggap
telah mengeruk emas di perut bumi Timika. Upaya mengusir Freeport sering
dilakukan lewat serangkaian insiden. Petu-gas keamanan terpaksa turun tangan.
Antara Oktober 1994 dan 1995, misalnya, pasukan ABRI menggelar serentetan
operasi, yang kemudian membuahkan persoalan hak asasi menusia. Menurut catatan
Komisi Nasion-al Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) operasi itu menewaskan 16
warga dan menyebabkan 4 penduduk hilang.Sisanya, 13 sandera (di antaranya
2 war-ga Belanda, 4 warga Inggris, dan 1 warga Jerman) ditahan terus oleh
pasukan Kelly. Dalam pertemuan terakhir dengan utusan rohaniwan, Munninghoff
dan van der Bijl, penyandera mengatakan hanya bersedia membebaskan orang-orang
yang di tangan mereka asalkan tujuh tuntutan mereka dipenuhi. Tuntutan itu,
antara lain, minta Pe-merintah menghentikan program transmi-grasi, ABRI harus
ditarik dari Irian Jaya, dan menuntut agar Perserikatan Bangsa Bangsa mengakui
OPM. Setelah menyam-paikan tuntutan para GPK itu, para rohani-wan tidak mau
lagi menjadi mediator. Mere-ka menganggap permintaan Kelly tidak masuk akal.
Dan sikap Pemerintah pun jelas. “Tak ada negosiasi dengan gerombolan pen-gacau
kearnanan,” ujar Panglima ABRI Jen-deral Feisal Tanjung waktu itu.Tentu saja ICRC tak lupa
menyampaikan pesan dari pihak Indonesia agar GPK segera membebaskan sandera.
Hasilnya lumayan. Pada 10 Februari, Penginjil Zarkeus Elopere dibebaskan. Lalu,
pada 15 Maret, GPK membebaskan Abraham Wanggai, peneli-ti dari Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Kanwil Kehutanan Irian Jaya. Setelah pembebasan terakhir ini,
tinggal 11 sandera lagi di tangan Kelly.Tindakan militer
ditempuh karena pendekatan persuasif gagal membebaskan sanderaWalau menutup pintu negosiasi,
pasukan ABRI belum berniat rnenyerbu. Mereka bahkan masih minta Komite Palang
Merah Internasional (ICRC) untuk menjadi penen-gah. Sejak 7 Februari, saat
hubungan GPK dengan dunia luar terputus, karena tidak ada yang mau menjadi
mediator, ICRC pun turun tangan. “Keikutsertaan ICRC dida-sarkan atas
permintaan Kelly Kwalik, yang disampaikan melalui misionaris,” cerita Henry
Fournier, Kepala ICRC Delegasi Regional Jakarta, yang membawahkan wilayah
operasi Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.


Di tengah situasi serba tak pasti itu,
musi-bah rnenimpa jajaran ABRI. Dalam sebuah patroli, dua prajurit dikabarkan
dibunuh oleh GPK. Korban bertambah dengan terjadinya insiden di posko pasukan
ABRI, yang terletak di hanggar lapangan udara di Kecamatan Timika. Pada 15
April subuh, Letnan Dua Sanurip tiba-tiba memberondongkan peluru ke arah
orang-orang di sek-itarnya. Sebanyak 16 orang meninggal, 10 anggota ABRI, 5
warga sipil, dan 1 pilot berkebangsaan Selandia Baru.
Peristiwa mengenaskan itu diduga
bermula dari kondisi Sanurip yang kurang beres. Ada yang mengatakan, perwira
per-tama itu tak dapat mengendalikan diri setelah mengetahui ada dua anggota
ABRI tewas oleh GPK. Keterangan resmi mengatakan, Sanurip terserang penyakit
malaria. Lebih jauh, menurut Kepala Pusat Penerangan ABRI, Brigadir Jenderal
Amir Syarifuddin, seseorang yang terkena malaria memang bisa lepas kendali. Dan
malaria adalah anca-man lain di Irian Jaya Pihak luar yang mengikuti jalannya
operasi pembebasan menjadi geregetan. Dari gedung DPR-RI, misalnya, terdengar
desakan agar ABRI segera menempuh tin-dakan militer. Sejauh itu, ABRI masih
berta-han dengan upaya persuasif. Bantuan para rohaniwan kembali diminta untuk
men-dukung upaya ICRC.
Tanggal 7 Mei, orang ICRC membawa kabar
gembira bahwa Kelly bersedia menyerahkan semua sandera. Waktu pembebasan
ditetapkan 8 Mei, dan akan diadakan upa-cara potong babi sebagai tanda
perpisahan. Tanpa buang tempo, pada waktu yang diten-tukan itu, dua helikopter
ICRC diterbangkan ke lokasi penyanderaan di Geselama. Mere-ka dikawal lima
helikopter TNI, walau tak sampai ke lokasi. Lagi-lagi Kelly berubah pikiran. Ia
mengatakan, hanya bersedia me-nyerahkan sandera jika disediakan sejum-lah
persenjataan sebagai tebusan. Lalu utu-san ICRC pulang dengan penuh kegemasan.
Esoknya, 9 Mei, mereka mengundurkan diri sebagai mediator. “Tidak ada lagi
kemung-kinan untuk meneruskan dialog yang membangun. Kami merasa ditipu. Pihak
pencu-lik tak memenuhi janji,” kata Lalu operasi militer
pun dilancarkan. Setelah petugas ICRC mohon pamit pada ABRI, lima helikopter
TNI melesat ke Gese-lama, tempat Kelly bersembunyi. Tapi mere-ka tidak
menemukan ada tanda-tanda manu-sia di sana. Ketika pulang ke Timika, sebuah
helikopter jatuh di hutan belantara, dan lima penumpangnya tewas. Kelima korban
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ku-suma Trikora, Abepura. Namun pengorba-nan
mereka tidak sia-sia. Dalam sergapan 15 Mei, sembilan sandera berhasil
dibe-baskan dalam keadaan hidup, dan dua orang lagi telah menjadi mayat. (Priyono
B. Sumbogo dan Akmal Nasery Basral)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar