Saya yakin bahwa bila Prabowo-Hatta kalah dalam pilpres maka tidak akan ada insiden apapun. Mengapa? Karena kita bisa melihat dari rekam jejak Prabowo yang menunjukan bahwa dia sangat demokratis dan bisa menerima kekalahan, misalnya tahun 2004 setelah kalah di konvensi Golkar, Prabowo keluar baik-baik dan membentuk partai sendiri tanpa keributan. Tahun 2009 kalah dari SBY-Boediono, Prabowo legowo dan kembali tidak ada ribut-ribut. Sedangkan Hatta tidak mungkin merusak nama baik besannnya, yaitu SBY.
Masalahnya saya tidak yakin pada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kita asumsikan misalnya pada tanggal 22 Juli 2014 diputuskan bahwa pemenang pilpres dan pasangan presiden dan wakil presiden Indonesia terpilih adalah Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, lalu apa yang kemungkinan akan terjadi? Dapat dipastikan bahwa kubu Jokowi-Jusuf Kalla akan ramai-ramai menyatakan bahwa pilpres berjalan curang karena seharusnya mereka yang menang sambil merujuk kepada hasil quick count dari lembaga-lembaga survei yang pemimpinnya sudah mengaku mendukung dan berkampanye untuk mereka seperti Saiful Mujani.
Sebelum kita lanjutkan, pertanyaannya adalah apakah terjadi kecurangan secara dalam pilpres? Beberapa kecurangan memang ada, tapi bukan Prabowo-Hatta pelakunya, contoh: petugas KPPS merusak kertas suara milik Prabowo-Hatta saat sedang dihitung (http://m.okezone.com/read/2014/07/17/567/1014014/petugas-kpps-perusak-surat-suara-prabowo-terancam-dipenjara), namun belum diketahui apakah timses Jokowi-JK terlibat atau inisiatif yang bersangkutan; ada juga pemilih didatangkan dari daerah luar dan mencoblos tanpa KTP yang ditemukan tim Prabowo-Hatta, namun secara umum dilihat dari proses rekapitulasi perolehan suara pada tingkat desa, sampai tingkat propinsi sejauh ini berjalan aman dan demokratis tanpa keributan besar.
Setelah kubu Jokowi-Jusuf Kalla ramai-ramai meributkan pilpres curang, yang tentunya diikuti media pendukung mereka seperti Tempo, Metro TV, The Jakarta Post, Jawa Post dll, secara masif maka akan dilanjutkan dengan pengerahan massa secara besar-besaran untuk mewujudkan ancaman mereka bahwa "rakyat akan marah besar" bila Jokowi-JK kalah atau hasil KPU tidak sesuai dengan hasil Quick Count. Sekali lagi media pendukung Jokowi-JK akan memanas-manasi suasana dengan mengatakan bahwa massa yang dikerahkan Jokowi-JK adalah wujud kemarahan rakyat yang datang secara spontan tanpa dikomando. TNI/Polri tentu sulit melakukan tindakan sebab bila mereka bertindak tegas maka racun bernama pelanggaran HAM, anti Demokrasi dan kembalinya rezim militer akan digunakan.
Atas perilaku Jokowi-Jusuf Kalla ini yang saya jamin pasti terjadi mengingat ancaman-ancaman mereka sejak menjelang pilpres: "Jokowi-JK hanya bisa kalah bila terjadi kecurangan," atau pernyataan provokatif dari Komisi X PDIP Dedi Suwandi Gumelar alias Miing Bagito dari trio pelawak Bagito singkatan dari "bagi roto" (bagi rata) tapi pecah karena Miing dan saudaranya tidak bagi keuntungan kerja kepada rekan lain dengan roto," berikut ini:
"...KPU harus jaga independensi dan profesionalitas sebab berdasarkan data formulir C1 yang masuk dalam data kita sudah 93 persen dan menyatakan Jokowi-Jusuf Kalla menang, dengan seperti itu berarti jika kondisinya berubah pada pengumuman tanggal 22 Juli nanti kami curiga dengan KPU.
Saya ingatkan KPU jangan terlalu nekat yah, jika KPU melakukan hal yang aneh-aneh ini bukan risiko yang main-main mereka akan berhadapan dengan kami dan rakyat yang tidak akan percaya dengan keputusan itu,”
http://www.suaranews.com/2014/07/semakin-jelas-kubu-pdip-membuat.html?m=1
Terhadap media partisan, bukankah ada pengawas seperti Dewan Pers, NGO bidang pers atau Komisi Penyiaran Indonesia/KPI?
Maaf Miing, bila ancaman ini adalah sebuah lawakan, maka anda sudah tidak lucu lagi!
Apakah kita bisa berharap banyak kepada Dewan Pers yang ketuanya Bagir Manan menghalalkan kriminalisasi terhadap rakyat yang melaksanakan kebebasan berpendapat dalam kasus tabloid Obor Rakyat? Atau yang anggotanya bernama Stanley Adi Prasetyo mengatakan kartun menghina Allah Swt dan Nabi Muhammad di The Jakarta Post adalah bagian dari "kebebasan pers,"? Perlu dicatat bahwa orang ini pernah menjadi Komisioner Komnas HAM yang mengeluarkan keputusan "pembantaian PKI 1965" adalah pelanggaran HAM berat padahal dia sama sekali tidak memiliki sedikitpun pengetahuan sejarah, sosiologi dan geopolitik terhadap kejadian tahun 1965.
Apakah kita bisa berharap kepada para aktivis pers seperti Todung Mulya Lubis, Goenawan Mohamad, Bambang Harymurti dkk yang diam saja ketika capres yang mereka dukung memberikan persetujuan atas tindakan anarkis yang dilakukan pendukungnya terhadap TVOne karena masalah pemberitaan? Bukankah Tempo pernah merasakan sendiri kantornya dihancurkan massa karena pemberitaan terkait kebakaran Tanah Abang yang menuduh tanpa bukti dilakukan oleh Tomy Winata? Di mana rasa solidaritas kalian sebagai sesama pers?
Begitupula mereka terdiam tidak berani bersuara ketika elit PDIP bernama Tjahjo Kumolo memberikan perintah penyerbuan melalui sms, namun mereka akan dengan cepat dan tangkas mengecam Prabowo atas berita dia menyebut pemilik The Jakarta Post sebagai brengsek yang faktanya tidak pernah terjadi? Munafik!
Tentu saja bukan hanya intelektual pers yang melacurkan diri kepada cukong-cukong Jokowi-JK, tapi juga organisasi profesi seperti Persepsi, perkumpulan perusahaan survei yang ketuanya Andrianof Chaniago adalah pendukung Jokowi-JK, mengeluarkan JSI dan Puskaptis karena mengeluarkan survei memenangkan Prabowo-Hatta yang berbeda dari survei yang dikeluarkan lembaga survei yang pemiliknya mendukung Jokowi-JK sehingga hasil survei mereka memenangkan Jokowi dan Jusuf Kalla. Hebat sekali kan?
Lantas bagaimana dengan KPI? Sejauh ini mereka mandul dalam melarang Metro TV menayangkan informasi Quick Count yang memenangkan Jokowi-JK secara terus menerus bertentangan dengan perintah KPI sebelumnya. Kata KPI akan ada sanksi bagi pelanggaran, tapi mana?
Nah, jadi dapat dipastikan media massa pendukung Jokowi-JK akan terus memainkan peranan mereka sebagai humas Jokowi-JK tanpa takut mendapat sanksi, termasuk ketika Jokowi-JK mengerahkan massa untuk mendelegitimasi keputusan KPU bila memenangkan Prabowo-Hatta. Terhadap hal ini saya hanya bisa mengatakan bahwa apabila nantinya KPU dan/atau Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Prabowo-Hatta memimpin Indonesia untuk lima tahun berikutnya maka bagi mereka yang anarkis berarti melanggar kedaulatan rakyat sebab bukan KPU atau MK yang memenangkan Prabowo-Hatta, melainkan rakyat dan kampanye Jokowi-JK melalui media massa bahwa Prabowo-Hatta kalah mengusik batin silent majority sebagaimana jeritan hati Nanik S. Deyang berikut:
"...Lihat bagaimana seorang ibu karyawan PNS di Bogor sampaii stres berteriak-teriak , karena sering melihat berita Prabowo seolah kalah, padahal di Bogor di daerah mana saja menang. Bagaiaman juga keresahan warga madura, melihat televisi terus melakukan kebohongan padahal mereka telah memenangkan Prabowo.
Bagaimana nangisnya rakyat Sumbar karena mereka memenangkan Prabowo, bagaimana sedihnya warga Sukabumi, dan Jawa Barat lainya karena mereka menangkan Prabowo, bagaiman juga pilunya rakyat Banten, karena mereka memenangkan Prabowo dll.
Dan lihatlah ada 3 juta angggota pencak silat dari berbagai aliran yg telah mencoblos ayah angkatnya selamwa 20 a tahun......apaakh suara-suara rakyat ini kalian nafikan?"
Jokowi-JK lupa bahwa Indonesia bukan Ukraina, sehingga apabila Jokowi-JK melaksanakan rencana meniru "Orange Revolution" di Ukraina tersebut, maka sama saja mereka mencoba meraih kemenangan secara ilegal tersebut dan pasti mendapat perlawanan dari rakyat yang sudah muak dengan cara-cara Jokowi-JK berpolitik yang memecah belah bangsa dan negara demi ambisi selama beberapa tahun terakhir. Ini bukan ancaman kosong. Bukankah untuk mengantisipasi tekanan massa Jokowi-JK pada tanggal 22 Juli 2014 akan ada 10ribu buruh pendukung Prabowo-Hatta berinisiatif melakukan demonstrasi damai di depan gedung KPU? Ini baru peringatan awal kepada Jokowi-JK bahwa rakyat tidak akan tinggal diam bila mereka mau melakukan kudeta atas kedaulatan rakyat. Bisakah dibayangkan apabila nanti tiga juta pesilat, purnawirawan yang setia pada konstitusi, mantan Pamswakarsa, banser pendukung Prabowo-Hatta, dll secara bersamaan bangkit membela konstitusi? Indonesia bisa perang saudara!!
Ok, kita anggap saja Jokowi-JK tidak berhasil mengulangi Orange Revolution, lantas apa? Jusuf Kalla mungkin akan meneruskan menjadi Ketua DMI sambil mencoba untuk mencari kesempatan maju pada pilpres lima tahun mendatang, sedangkan Jokowi akan ditinggal para cukong yang mendukungnya selama ini. Kehilangan perlindungan dari CSIS dan cukong selama ini sehingga semua korupsi Jokowi yang terpending di Kejaksaan Agung dan KPK yaitu kasus korupsi bus transjakarta dan kasus kartu pintar Solo akan berjalan tanpa intervensi dan bila demikian dapat dipastikan Jokowi sulit meloloskan diri dari jerat hukum.
Selain itu saat ini gugatan agar Mahkamah Konstitusi memutuskan seorang gubernur yang mencalonkan diri sebagai capres harus berhenti masih dalam proses pemeriksaan dan bila dikabulkan maka Jokowi terancam kehilangan kursi kegubernurannya sebab sekalipun dia tidak sukarela mengundurkan diri namun putusan Mahkamah Konstitusi tadi bisa menjadi dasar hukum bagi DPRD untuk memberhentikan Jokowi dari kursi gubernur. Bila skenario ini yang berjalan maka saya mengatakan hal tersebut adalah hukum karma bagi Jokowi yang rakus jabatan tapi malah kehilangan semuanya. share. kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar