JAKARTA - Arsilan mengaku ingatannya masih kuat. Ia bahkan masih bisa menyanyikan lagu berbahasa Jepang berjudul "Miyoto" sembari jalan ditempat, yang ia pelajari dari tentara Jepang saat ia bergabung di satuan Heiho pada tahun 1943 lalu. Namun ia bersikeras umurnya 92 tahun, walau pun ia mengakui ia kelahiran tahun 1925.
Arsilan tinggal di sebuah bangunan kayu yang berdiri di atas trotoar jalan Bonang. Kediamannya itu berada di sisi luar tembok sebelah Timur Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Di sisi jalan tersebut selain kediamannya, juga terdapat belasan bangunan kayu lain yang dipergunakan para pedagang makanan.
Gubuk Arsilan berukuran sekitar 4 X 3,5 meter yang ia akui ia bangun sendiri. Gubuknya agak tersamar karena berada di bagian belakang kios rokok, yang terlihat dari sisi jalan hanyalah pintu masuknya saja. Sementara di dalam gubuk tersebut terdapat beberapa buah kasur bekas yang ditumpuk sembarangan, berikut sejumlah bantal yang sudah usang. Kamar tersebut lembab, penuh debu dan minim penerangan, dan baunya pun khas.
Beberapa kali kediamannya itu digusur oleh pemerintah daerah. Kata dia terakhir kali bangunan itu digusur adalah karena ada pejabat yang hendak melakukan inspeksi, setelahnya ia pun kembali mendirikan kembali kediamannya itu.
Namun siapa yang sangka, ia sudah tinggal di wilayah itu sejak tahun 1945 lalu. Bahkan saat Presiden Sukarno membacakan naskah proklamasi yang menjadi tonggak kemerdekaan Indonesia, Arsilan ikut menghadiri.
Ditemui di kediamannya, Arsilan mengaku keluarganya memang bekerja sebagai pegawai di kediaman sang Proklamator yang akrab dipanggil Bung Karno itu di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat. Pada tahun 1945 ia bekerja sebagai tukang kebun, yang tugasnya mengurusi rerumputan di pekarangan depan dan belakang rumah Bung Karno yang luas tersebut.
"Gaji saya dulu cuma dua picis dua sen, waktu itu bisa buat beli beras dua gantang," jelasnya.
Ia masih ingat betul, pada 17 Agustus 69 tahun lalu jatuh pada hari Jumat. Pada pagi hari saat ia hendak bekerja membersihkan rumput, ia dapati kediaman Bung Karno banyak didatangi tokoh-tokoh perjuangan, termasuk sejumlah pemimpin laskar. Keramaian tersebut kata dia memicu warga sekitar kediaman Bung Karno untuk ikut berkumpul di depan kediaman proklamator kemerdekaan RI tersebut.
Kata dia bung Karno menjelang pukul 10.00 WIB keluar dari kediamannya menuju bagian depan rumah, di mana sejumlah tokoh kemerdekaan sudah menunggu. Di antara orang-orang yang datang kata dia ada sebagiannya adalah tentara asing, dan tentara Jepang yang tengah mengalami kekalahan hebat.
Bapak empat anak itu mengatakan bahwa acara tersebut dimulai dengan pengerekan Sang Saka Merah Putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Bendera tersebut ia ingat adalah bendera yang dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati di teras rumah tersebut. Sementara tiang yang digunakan adalah bambu yang sehari sebelumnya di beli oleh salah seorang pegawai rumah di kawasan Manggarai.
"Yang masang tiang saya juga ikut. Itu sehari sebelumnya. Kita disuruh pasang, tapi tidak tahu untuk apa. Waktu itu sih belum ada tiang bendera besi, sudah habis sama Jepang," terangnya.
Setelah pengibaran bendera, Bung Karno pun membacakan naskah proklamasi, menegaskan bahwa Indonesia telah merdeka sebagai sebuah negara. Namun saat pembacaan berlangsung, warga umumnya tidak berani meluapkan kegembiraannya, melainkan hanya diam mendengarkan secara seksama. Di ujung pembacaan teks Proklamasi, seluruh yang hadir pun serentak berteriak "Merdeka"
Di Bawah Ketakutan dan Dicurigai
Menurutnya saat itu rakyat Indonesia hidup dibawah ketakutan, dan masing-masing dicurigai sebagai mata-mata pejuang mau pun mata-mata penjajah. Oleh karena itu tidak banyak yang berani mengungkapkan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan, namun Bung Karno pascapembacaan teks Proklamasi mampu membuat rakyat melupakan ketakutan tersebut.
Di antara orang yang datang saat itu menurutnya banyak juga yang menitikan air mata, terutama para laskar-laskar yang ikut berperang melawan penjajah. Ia menduga mereka yang menitikan air mata adalah mereka yang terkenang betapa sulitnya meraih kemerdekaan, dan hari itu Bung Karno pun membacakan naskah proklamasi yang dipercayai banyak orang saat itu sebagai penanda berakhirnya penderitaan.
"Walau pun sebetulnya masih belum. Waktu itu kan Inggris datang, kita masih perang juga," kata Arsilan.
Usai pembacaan naskah teks proklamasi ia tidak begitu ingat apakah Bung Karno sempat menyampaikan pidatonya, yang ia ingat Sang Saka Merah Putih kemudian diturunkan dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Setelahnya Bung Karno pun kembali ke kediamannya, dan warga satu persatu membubarkan diri.
Menurut dokumen yang ada diketahui pengibaran Sang Saka Merah Putih dilakukan setelah pembacaan teks Proklamasi. Ia berkilah yang ia ingat pengibaran dilakukan sebelum pembacaan, dan pengetahuan tersebut ia ketahui dari pengalamannya dan bukan dari membaca buku. Ia mengaku sebagai seseorang yang buta huruf.
Kediaman Bung Karno itu kini sudah digusur, dan di atasnya didirikan Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur pun diubah namanya menjadi Jalan Proklamasi, untuk memperingati tonggak awalnya berdiri Republik Indonesia.
Namun menurutnya pembacaan teks Proklamasi tersebut lokasinya bukan berada di lokasi yang kini berdiri patung dua Proklamator, yakni Bung Karno dan Muhamad Hatta atau Bung Hatta. Tempat berdirinya monumen itu kata Arsilan sebelumnya adalah kediaman Bung Karno, sedangkan lokasi pembacaan teks Proklamasi adalah di bagian depan rumah, yakni di lokasi yang sekarang berdiri tiang tinggi dengan logo yang menyerupai logo petir di bagian atasnya.
"Dulu Bung Karno baca proklamasi di tiang petir, bukan di patung Bung Karno," tuturnya.
Hingga tahun 2003, Arsilan bekerja di kediaman keluarga Bung Karno di kawasan Menteng. Pekerjaannya terakhir adalah sebagai petugas keamanan, dengan gaji Rp 400 ribu perbulan. Setelahnya ia dan istrinya pun mencoba berdagang Surabi di Jalan Bonang. Setelah istrinya meninggal dan empat orang anaknya sudah mapan di perantauan, usaha Surabi itu pun berhenti.
Laki-laki berdarah Banten itu kini hidup dari tunjangan pemerintah sebesar Rp 1 juta perbulan, karena ia pernah berperang melawan penjajah di Serpong, Banten pada tahun 1940an, dan kini berstatus anggota satuan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI). Selain itu untuk menambah penghasilannya ia sehari-hari bekerja mengumpulkan gelas plastik air mineral.
Laporan Nurmulia Rekso Purnomo
Share. TRIBUNNEWS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar