Pasca putusan KPU, terlebih lagi pasca putusan MK --- dimana kedua lembaga negara dimaksud mensahkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014 --- sejumlah kalangan ramai-ramai menyarankan agar kedua pasangan “duel maut”, Prabowo-Hatta versus Jokowi-JK untuk segera melakukan rekonsiliasi. Semacam islah dari ketegangan yang timbul sepanjang pilpres berlangsung. Ajakan seperti itu, tak hanya datang dari masyarakat lapis bawah, tapi justru lebih banyak datang dari kalangan atas. Tak kurang, sejumlah cendekia pun ikut pula bersaran.
Saran rekonsiliasi dari berbagai kalangan, disuarakan sejumlah pewarta yang menemui Jokowi dan JK sesaat setelah MK mengetukkan palunya di hari Kamis (21/8/2014) itu. Apakah keduanya akan segera menjadwalkan untuk menemui Prabowo dan Hatta sebagai upaya rekonsiliasi. Tak diduga, Jokowi memberi sanggahan, yang dalam takaran saya sangat tepat dan mengagumkan. “Rekonsiliasi apa, lha wong saya ini ndak punya masalah dengan Pak Prabowo, demikian juga dengan Pak Hatta”, tangkis Jokowi dengan cengengesan khasnya.
Mendengar sanggahan Jokowi seperti itu, para pewarta yang hadir kembali mendesak Jokowi dengan pertanyaan apakah menjadwalkan untuk bertemu Prabowo maupun Hatta. “Bertemu ya bertemu sajalah, namanya juga sahabat. Saya dan Pak Prabowo itu sahabat baik, sahabat yang sangat baik. Tidak ada masalah, kemarin saat pilpres sempat tanding, setelah itu kan sudah”, jelas Jokowi sambil melirik JK di sebelahnya. Jokowi mengakui bahwa komunikasi dirinya dengan Prabowo sedikit terganggu, namun setelah pilpres diyakininya pasti lancar lagi.
Jawaban Jokowi malam itu seolah belum memuaskan sejumlah pewarta, sehingga beberapa hari sesudahnya, lagi-lagi para pewarta menjegat Jokowi di Balaikota Jakarta, menanyakan hal yang sama sehingga Jokowi menguku bingung dengan pertanyaan tentang rekonsiliasi yang dimaksud para pewarta. “Rekonsiliasi itu apa?”, kata Jokowi balik bertanya. “Saya gak ada masalah dengan Pak Prabowo. Kemarin tanding di pilpres. Sebentar saja, setelah itu bersahabat lagi”, lanjut Jokowi dengan nada agak sedikit ketus.
Pokok yang sama ditanyakan berulang, pun disanggah dengan jawaban yang tetap sama. Itulah yang saya coba maknai sangat tepat dan mengagumkan. Begitu mengagumkan karena dalam takaran saya, pertanyaan berulang diajukan para pewarta tentang upaya rekonsiliasi, sekaligus tangkisan yang dijadikan Jokowi sebagai jawaban, sesungguhnya tidaklah semata pertanyaan dan jawaban yang apa adanya, tapi lebih dari itu sudah menyangkut soal cara pandang. Cara pandang memaknai pertarungan politik, serta cara pandang memberi pemaknaan rekonsiliasi.
Para pewarta --- mewakili cara pandang banyak kalangan --- telah terlanjur memahamai bahwa pertarungan politik praktis, adalah pertarungan individu yang satu berhadapan individu yang lain dengan melibatkan sentiment antarpribadi yang satu berhadapan pribadi yang lainnya. Sementara di pihak Jokowi, sebaliknya terlanjur dalam memahami bahwa pertarungan politik hanyalah sebatas pertarungan adu siasat, antara taktik dan strategi. Sekalipun pribadi ikut di dalamnya, tetapi hanya sebatas subjek, objeknya tetap pada upaya meraih suara rakyat.
Cara pandang adalah soal paradigma, sangat menentukan dalam penarikan kesimpulan. Dan pokok ditanyakan para pewarta secara berulangkali, tak lepas dari rangkaian kesimpulan yang terlanjur jamak dipahami banyak kalangan dalam memaknai pertarungan politik sebagai tarung pribadi, antara individu satu dengan individu yang lain. Itu sebabnya, setiapkali pertarungan politik game over, setiapkali itu pula banyak kalangan ramai-ramai menyuarakan agar segera dilakukan islah atau rekonsiliasi antarpihak. Pertarungan dipahami sebagai pertikaian.
Cara pandang yang melahirkan pemahaman seperti itu, jamak dipahami banyak pihak di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Itu sebabnya, pertarungan politik seringkali berimplikasi buruk, mencederai substansi dan makna demokrasi. Musababnya karena pertarungan politik ikut melibatkan emosi dan sentiment pribadi, sehingga upaya meraih dukungan suara rakyat melalui penerapan siasat, taktik dan strategi yang tepat serta jitu yang sangat menentukan kemenangan, malah justru diabaikan.
Saya membayangkan jika seandainya pemahaman jamak seperti itu masih selalu dikedepankan, betapa sengsaranya negeri dan bumi ini. Setiapkali pertarungan politik berlangsung, entah itu pilkada, pilkades, atau musyawarah ormas, serta lainnya, maka setiapkali itu pula dipandang perlu adanya islah, merekonsiliasi antara pihak yang hakikatnya bertarung tapi berujung pada pertikaian antarindividu, kelompok dan paham. Bahkan jika pemahaman jamak seperti itu terus dikedepankan, maka tak mustahil seusai pertandingan bola sekalipun, dilakukan rekonsiliasi.
Upaya merekonstruksi cara pandang jamak seperti itu, sontak mengingatkan masa kanak-kanak dulu di kampung. Setiapkali tim kesebelasan kampung saya menghadapi kesebelasan kampung sebelah, sang pelatih bukannnya mengajarkan pola, strategi dan taktik mengalahkan lawan, tapi dilakukannya justru mengusap betis para pemain dengan minyak ramuan tertentu agar ketika berebutan bola dan berbenturan betis pemain lawan, sedikit pun tidak merasakan sakit. Lewat kekuatan betis berlumur minyak mujarab itu, kesebelasan kampung saya selalu unggul.
Seperti itulah keadaannya, karena pelatih bola di kampung saya, terlanjur jamak memahami bahwa pertandingan bola adalah pertikaian adu fisik antarapemain. Sama sekali tidak memiliki cara pandang seperti dipahami Jokowi, bahwa pertandingan catur tetaplah adu siasat, strategi dan taktik di atas papan catur, sekalipun yang menggerakkan biji catur dirinya dan JK melawan Prabowo-Hatta, tapi tidaklah berarti mereka harus beradu fisik sebagai penentu kemenangan. Siapa menang siapa kalah, tetap saja ditentukan oleh gerakan biji catur di atas papan catur.
Rekonsiliasi diperlukan jika seandainya Prabowo-Hatta beradu fisik dengan Jokowi-JK, tetapi dengan catatan rekonsiliasi dilakukan, tidak lagi karena adanya konflik antarpemain catur dalam pertandingan catur, tapi telah berubah wujud menjadi rekonsiliasi antarpemain tinju di atas ring tinju, sekalipun di depan kedua pihak tergeletak lapangan catur. Bagi Jokowi, pertandingan catur tetaplah permainan catur di atas papan catur, bukan pertandingan antarpemain catur. Itu sebabnya Jokowi bingung dan mempertanyakan pemahaman jamak kita, “Rekonsiliasi itu apa?”
Makassar, 27 Agustus 2014
Oleh.Armin Mustamin Toputiri / Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar