SEORANG gadis Papua menjadi saksi Tim Prabowo Hatta dalam sidang lanjutan sengketa pilpres atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pilpres 2014. Gadis itu bernama Novela Nawifa dan berhasil mencairkan suasana ruangan MK. Sampai-sampai Ketua MK, Hamdan Zoelva berkata bahwa gaya bicara Novela sangat khas dan wajib dipertahankan. Jarang-jarang suasana MK menjadi seriang ini.
Sementara sebelumnya beberapa saksi dari Papua juga ditampilkan, yakni lelaki yang juga bergaya serupa. Dengan logat Papua yang kental, gaya bicaranya pun tinggi seperti orang yang sedang marah. Taufik Basari, salah satu tim pengacara Tim JKW Jk sempat berkata bahwa dirinya bertanya sambil senyum dan ramah, jadi sebaiknya dijawab pula dengan hal yang sama, namun Hamdan berkata memang begitulah karakteristik orang Papua.
Namun apa yang dilakukan Novela lebih dari kata menghibur. Ada kegemasan, kejujuran, dan rasa geram dalam dirinya saat dia memberikan kesaksian.Seakan-akan apa yang selama ini dipendamnya tumpah keluar tanpa sisa. Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan saksi Tim Prabowo Hatta yang terkesan kalem, bahkan terlihat kaku dan takut.
Lalu apa yang Novela katakan? Cuplikan ‘penampilan gemilangnya’ bisa dilihat di video berikut: http://www.youtube.com/watch?v=MeYkt7vj_m8
Contohnya saat ia mengaku bahwa tidak ada aktivitas pemilihan, dia berkata. “Tidak ada aktivitas pemilihan, di kampung kami tidak ada di kampung Rawa Butu, tidak ada TPS.”
Saat Hamdan bertanya tentang keberadaan saksi saksi nomor urut dua, Novela berkatah.”Tidak tahu, saya tidak tahu saksi lain, tidak ada petugas (KPPS). Kami ini di gunung kenapa tidak ada sosialisasi. Tanya saja ke penyelenggara, jangan tanya saya, tanya penyelenggara.”
Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi pun bertanya hal yang sama tentang keadaan di lokasi 9 Juli. Yakni tentang keberadaan masyarakat, dengan tegas Novela berkata bahwa tak ada pencoblosan meski begitu banyak warga.
Mendapat respons itu Patrialis berkata, .”Saya senang dengan gaya saudara menjawab, teruskan gaya saudara seperti itu, jarang-jarang kita sidang dengan suasana seperti ini.”
Berikut cuplikan tanya jawab Patrialis dan Novela yang cukup epic itu:
Patrialis: Lanjutkan gaya-gayanya itu, sebagai Raden Ajeng Kartini, Insya Allah ke depan, ya
Novela: Amin
P: Oke, kan di sana ada tokoh-tokoh masyarakat, Saudara Saksi ngobrol nggak sama tokoh-tokoh setempat? Bagaimana komunikasi saat itu?
N: Saya tidak komunikasi dengan siapa-siapa, diam-diam saja, orang juga punya manusia punya pikiran, KPU penyelenggara pemerintah juga ada, sosialisasi supaya kami masyarakat bisa tahu. Kami ini di gunung, sosialisasi. Agar kami tahu tahapan-tahapan pemilu itu ada.
P: Jauh nggak rumah saudara ke tempat saudara datang itu
N: Ini di dalam kampung Pak
P: Kalau gitu terima kasih
N: Terima kasih Pak!
Arief Hidayat kemudian menanyakan hal lain. “Berapa jarak tempat tinggal saudara dengan TPS, jauh tidak?” tanya Arief.
Di sini Novela kesusahan menjawab karena terkesan tak tahu bedanya meter dan kilometer.
“Dekat Pak, 300 kilometer, eh 30 meter, 300 meter Pak. Maaf saya manusia bisa salah.”
Arief bertanya tentang hal lain, “Anda tahu ada kegiatan lain di distrik lain?”
“Saya hanya bicara di kampung saya, Pak. Saya tidak bicara di kampung lain, saya berada di TPS. Saya tidak mau bicara yang lain.”
Mendengar pengakuan Novela yang menolak pertanyaan, Arief bergurau.”Bisa kacau saya lama-lama sama saudara.”
“Sama, Pak. Kalau bapak kacau, saya lebih kacau lagi,” jawab Novela.
Namun Novela bersikap berbeda saat ditanya Taufik Basari selaku tim pengacara JKW JK. Novela dengan tegas berkata bahwa ia tahu arah pertanyaan Taufik sehingga seharusnya tidak usah ‘mencari kesalahan orang lain’.
Novela akhirnya menjadi ‘bintang’ dari sidang MK hari itu karena kelugasan menjawab dan logat daerahnya yang lucu. Kalau saja semua saksi bisa selugas dia, mungkin ruangan MK akan lebih ‘meriah’ lagi. Setidaknya dari kesaksian Novela diketahui kalau memang tidak ada pemungutan suara di TPS di kampungnya berada.
*
Penulis> samandayu
Share.Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar