OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di luar konteks proses sengketa pilpres yang sedang berlangsung di MK, beberapa pihak menilai langkah Jokowi (Presiden terpilih ala KPU) yang membuka partisipasi publik untuk memberikan masukan dalam penyusunan bakal kabinetnya, sebagai langkah cerdik Joko Widodo (Jokowi) untuk meredam ambisi pihak-pihak berkepentingan.
Sebab, sebagaimana kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, dengan beralasan sebagai tidak sangat dikehendaki rakyat, Jokowi tidak beban mental menolak ambisi pihak-pihak tersebut.
Tetapi benarkah itu sebagai langkah cerdik apalagi “licik” Jokowi?
Jika mengacu dari sepak terjangnya yang terpublikasi selama ini saya menilai tidak. Saya melihat, hal melibatkan bahkan merasa bagian dari publik memang tipologi (corak watak) Jokowi.
Lihat saja cara ala Jokowi dalam menangani beberapa kasus baik ketika bersentuhan dengan kaum elite maupun kalangan bawah berikut:
Mendamaikan Keraton Surakarta
Ketika Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SDISKS) Paku Buwono XIII dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung Tedjowulan berkonflik berebut tahta.
Pada 2012 lalu Jokowi setelah delapan bulan menemui satu per satu pihak keraton yang terlibat dalam pertentangan akhirnya sukses berperan menyatukan kembali perpecahan ini dengan kesediaan melepas gelar oleh Panembahan Agung Tedjowulan, serta kesiapan kedua keluarga untuk melakukan rekonsiliasi.
Pembenahan pedagang kaki lima
Saat Jokowi dihadapkan pada program pembenahan pasar dan pedagang kaki lima di Monumen 45 Banjarsari. Apa yang dilakukannya?
Dengan berpendekatan nguwonke wong atau memanusiakan manusia sehingga tidak memaksa atau pun menggusur pedagang toh akhirnya berhasil.
Caranya simple. Jokowi mengedepankan dialog dan makan siang bersama agar pedagang mulai berani menumpahkan keluhannya langsung.
Selain itu, dibuka pula jalur diskusi di mana saja, seperti di Balai Kota, warung, wedangan, pinggir jalan, hingga di Loji Gandrung.
Dikabarkan, setelah 54 kali sesi makan siang bersama selama 7 bulan, pedagang mulai luluh dan Pemerintah Kota Solo mengistimewakan para pedagang yang bersedia pindah dengan membuatkan arak-arakan hingga ke tempat baru.
Konflik dengan Bibit Waluyo
Yang menarik lagi, ketika pada Juni 2011, Joko Widodo menolak pendirian mal di lokasi bekas pabrik es Saripetojo untuk membatasi maraknya pasar modern dan melindungi pasar tradisional.
Kebijakan pendirian mal ini merupakan kebijakan dari Gubernur Jawa Tengah,sehingga Bibit sempat mengatakan Jokowi “bodoh” karena menentang kebijakan gubernur.
Pernyataan tersebut memicu reaksi keras dari warga Solo, yang bahkan menolak kehadirannya di kota Surakarta.
Dan, apa cara Jokowi menanggapi emosi ini?
Jokowi santai dan menyatakan bahwa “saya itu memang masih bodoh. Masih harus banyak belajar ke banyak orang”.
Yup. Keberanian merakyat memang terlihat kuat sebagai corak watak Jokowi. Sementara nuansa cerdas, cerdik, dan sebagainya barangkali ikutan saja dari gaya-gaya merakyatnya Jokowi itu.
Masalahnya adalah akankah watak itu terus saja mampu bertahan? Sebab, kalau watak mestinya tidak berkarakter seperti watuk (batuk) yang dengan mudah bisa hilang atau berubah.
Demikian. Salam.***
Share.kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar