Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis tersebut tidak hanya diitunjukkan dengan kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tetapi juga sebagai penyedia lapangan kerja. Pada saat sektor industri dan sektor non-pertanian lainnya belum mampu menyerap sepenuhnya tambahan angkatan kerja, maka pertanian sering menjadi penampungnya. Di samping itu, sektor pertanian masih menjadi andalan bagi penyedia bahan baku bagi industri serta sumber pendapatan devisa dari ekspor. Peran strategis pertanian di Indonesia juga semakin terlihat saat harga-harga bahan pangan mengalami kenaikan. Dengan kata lain, sektor pertanian masih menjadi andalan sebagai sumber bahan pangan untuk kepentingan domestik.
Dengan semakin tumbuhnya perekonomian dan meningkatnya pendapatan masyarakat, maka peranan sektor pertanian dalam menyumbang PDB secara relatif akan semakin menurun dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya. Meskipun produk pertanian terus meningkat secara absolut, namun peningkatannya akan kalah dengan peningkatan produk sektor lainnya. Hal yang sama terjadi dengan kontribusi pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang semakin baik, maka akan disertai pula dengan persentase tenaga kerja yang semakin menurun di sektor pertanian.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pemilikan lahan oleh petani mengalami kenaikan luasan. Bisa diartikan kemampuan sektor non-pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian semakin besar. Sebelumnya data selalu menunjukkan kecenderungan kepemilikan lahan petani yang terus semakin sempit, yang menandakan sulitnya penduduk pedesaan untuk memperoleh kerja di luar pertanian. Lahan yang terbatas tersebut terbagi-bagi menjadi satuan yang lebih kecil lagi di antara para anggota keluarga melalui sistem warisan.
Dengan peran strategis tersebut, tidak mengherankan bahwa pembangunan pertanian menjadi perhatian besar pemerintahan Presiden SBY. Perhatian besar ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya anggaran untuk pembangunan pertanian di Indonesia. Selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, anggaran untuk sektor pertanian yang dialokasikan melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian PU meningkat signifikan, dari Rp 5.889,8 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp 22.970,7 milyar pada tahun 2013. Rata – rata peningkatan anggaran sektor pertanian dalam kurun waktu 2004 – 2012 mencapai 16,92 % per tahun.
Untuk mendorong peningkatan produksi pangan, pemerintah tidak saja memberikan perhatian pada infrastruktur pertanian tetapi juga memberikan bantuan berupa subsidi pupuk maupun subsidi benih. Subsidi pupuk meningkat sangat signifikan dari Rp 1.400 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp 15.914 milyar pada tahun 2013. Pertumbuhan rata – rata subsidi pupuk dalam kurun waktu 2004 – 2013 mencapai 38,60 % per tahun. Berbagai program juga dilakukan oleh kementerian lain dan LPNK untuk meningkatkan produksi pertanian, seperti pinjaman permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan PNPM, stabilisasi harga produk pertanian dan bantuan fasilitas pemasaran hasil pertanian.
Selama periode Presiden SBY, pemerintah memberikan perhatian yang besar pada upaya peningkatan produksi beberapa komoditas pangan utama. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, komoditas pangan utama yang ditetapkan sebagai sasaran pembangunan prioritas nasional ketahanan pangan adalah padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
Perkembangan produksi padi selama pemerintahan Presiden SBY menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang positif dengan peningkatan lebih dari 15 juta ton GKG dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Pada tahun 2004 produksi padi 54,1 juta ton GKG, dan menjadi 70,9 juta ton GKG pada tahun 2013, atau tumbuh rata-rata 3,20% setiap tahun. Demikian pula, perkembangan produksi jagung menunjukan trend pertumbuhan yang positif, dimana terjadi peningkatan sebesar 8,152 juta ton pipilan kering dari 11,225 juta ton pipilan kering pada tahun 2004 menjadi 18,510 juta ton pipilan kering tahun 2013, atau tumbuh rata-rata 6,97% per tahun.
Produksi komoditas utama pangan lainnya, yaitu daging juga menunjukkan peningkatan produksi dari tahun ke tahun. Produksi daging tahun 2012 sebesar 2.691 ribu ton, sedangkan pada tahun 2004 sebesar 2.020 ribu ton, atau tumbuh dengan laju 3,3% per tahun. Untuk komoditas kedelai dan gula, produksi cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Namun demikian secara keseluruhan masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Kedelai meningkat dari 723 ribu ton biji kering pada tahun 2004 menjadi 808 ribu ton biji kering tahun 2013. Sedangkan produksi gula pasir nasional sejak tahun 2004 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebanyak 2,8 juta ton. Pada tahun 2011 produksi gula pasir menurun, namun kembali meningkat pada tahun 2012 hingga mencapai 2,57 juta ton.
Komoditas strategis pertanian lainnya yang menjadi fokus perhatian pembangunan pertanian adalah komoditas hortikultura, diantaranya cabai dan bawang dan komoditas perkebunan, antara lain kelapa sawit, karet, kakao dan kelapa. Semua komoditas strategis tersebut selama pemerintahan SBY menunjukkan trend kenaikan produksi yang positif.
Produksi cabai mencapai angka tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebesar 1.650,87 ribu ton dan terendah pada tahun 2005 yaitu sebesar 1.058,02 ribu ton. Rata-rata perkembangan produksi komoditas cabai dari tahun 2004-2012 meningkat sebesar 5,55%. Produksi bawang merah mencapai angka tertinggi pada tahun 2010 yaitu sebesar 1.048,93 ribu ton dan terendah pada tahun 2005 yaitu sebesar 732,02 ribu ton. Rata-rata perkembangan produksi komoditas bawang merah meningkat sebesar 3,35%.
Komoditi kelapa sawit menyumbangkan produksi terbesar dari komoditas utama perkebunan Indonesia, yaitu sebesar 10,830 juta ton CPO pada tahun 2004 meningkat menjadi 23,521 juta ton CPO pada tahun 2012. Produksi kakao juga terus meningkat dari 691,7 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 1 juta ton pada tahun 2013. Pertumbuhan rata – rata produksi kakao dalam kurun waktu 2004 – 2013 mencapai 4,9% per tahun.
Neraca perdagangan produk sektor pertanian secara keseluruhan masih berada pada posisi surplus. Sumbangan surplus neraca perdagangan yang relatif besar berasal dari komoditas perkebunan. Sementara komoditas lainnya cenderung pada posisi defisit. Laju pertumbuhan ekspor selama periode pemerintahan SBY sebesar 18,6 persen per tahun, sementara laju pertumbuhan impor 16,8 persen per tahun. Sehingga neraca perdagangan sektor pertanian tumbuh positif dengan laju 1,1 persen per tahun.
Untuk komoditas pangan utama Indonesia sampai saat ini masih dapat dikatakan bahwa Indonesia menjadi negara net importer. Laju pertumbuhan nilai impor pada periode 2004-2013 secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan nilai ekspornya. Komoditas pangan yang menyumbang impor terbesar adalah kedelai diikuti oleh jagung dan beras. Kinerja perdagangan sub sektor hortikultura tidak berbeda dengan sub sektor tanaman pangan, yaitu berada pada neraca defisit sepanjang periode 2004-2013. Sub sektor peternakan juga masih menunjukkan kondisi defisit dalam neraca perdagangannya. Sumber defisit neraca perdagangan terbesar adalah impor susu, ternak sapi dan daging sapi, yang jumlahnya cukup besar.
Sub sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya. Produksi komoditas utama perkebunan diekspor ke negara-negara lain, kecuali gula yang masih diimpor. Selama periode pemerintahan Presiden SBY, sub sektor perkebunan memiliki neraca perdagangan surplus. Bahkan untuk sub sektor perkebunan nilai kumulatif surplus bulan Januari sampai Oktober 2013 sudah sebesar US$ 21,6 milyar.
Dalam melaksanakan pembangunan pertanian, tentu saja dijumpai berbagai permasalahan dan kendala. Secara umum permasalahan tersebut adalah bagaimana meningkatkan produksi pertanian yang dapat memenuhi peningkatan permintaan penduduk Indonesia. Seiring dengan meningkatkan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat, bisa dipastikan permintaan terhadap produk pertanian akan terus meningkat. Berkaitan dengan produksi pertanian, produktivitas yang relatif lambat peningkatannya dan luas areal tanaman yang semakin terbatas menjadi penyebab utama rendahnya peningkatan produksi pangan utama. Penyusutan lahan sebagai akibat dari konversi lahan, jaringan irigasi yang rusak, sulitnya memperluas areal tanam baru dan perubahan iklim ditengarai menjadi penyebab terjadinya peningkatan produksi yang belum sesuai dengan target.
Lambatnya peningkatan produktivitas merupakan kendala dalam peningkatan produksi pangan. Penyebabnya antara lain adalah masih terbatasnya difusi benih unggul hasil penelitian dan pengembangan, terbatasnya kemampuan petani dalam menerapkan budidaya yang sesuai dengan anjuran (good agricultural practices), dan rendahnya akses petani terhadap sumber pembiayaan. Dengan kondisi demikian, pendampingan penyuluhan dan pelatihan bagi petani menjadi hal penting untuk diperhatikan, disamping perlunya perbaikan kelembagaan perkreditan untuk petani.
Terkait dengan terbatasnya perluasan areal tanaman, masalah yang dihadapi antara lain adalah konversi lahan pertanian yang tidak diimbangi dengan pencetakan lahan baru, terbatasnya pelaksanaan perluasan lahan di luar Jawa dan indeks pertanaman yang tidak meningkat. Untuk mengendalikan pemanfaatan lahan yang dapat mengganggu produksi pertanian, pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundangan, diantaranya Undang-undang (UU) No. 26/2007 tentang Penataan Ruang,UU No. 41/2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berikut Peraturan Pemerintah (PP) No. 12/2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, serta UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air berikut PP No. 20/2006 tentang Irigasi. Namun implementasi dari peraturan perundangan tersebut masih tersendat. Hingga saat ini, alih fungsi lahan pertanian padi sawah masih terus berlangsung di banyak daerah. Laju alih fungsi lahan pertanian dalam sepuluh tahun terakhir diperkirakan mencapai 100 ribu hektar per tahun. Sedangkan kemampuan pemerintah untuk mencetak sawah baru masih terbatas. Kemampuan pemerintah mencetak sawah rata-rata sekitar 33.102 hektar per tahun. Tata ruang wilayah yang disusun oleh daerah cenderung kurang memperhatikan rencana alokasi ruang untuk pertanian. Alokasi ruang untuk pertanian yang ada pun sering semakin berkurang karena lemahnya pengawasan. Untuk membendungnya, penegakan sanksi pelanggaran terhadap peraturan perundangan tersebut penting untuk secara tegas diimplementasikan
Banyak rusaknya jaringan irigasi antara lain disebabkan oleh program rehabilitasi jaringan irigasi masih belum mampu mengimbangi rusaknya jaringan yang ada, dan terbatasnya kemampuan keuangan dan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya. Terbatasnya ketersediaan sumber daya lahan untuk irigasi juga menjadi salah satu sebab. Upaya tindak lanjut untuk menghadapi permasalahan ini adalah lebih difokuskan pada rehabilitasi jaringan yang mengalami kerusakan pada daerah-daerah sentra produksi pangan. Selain itu, membangun waduk dan embung serta jaringan irigasi yang baru merupakan upaya yang perlu terus dilakukan.
Dalam jangka menengah dan panjang ke depan, sektor pertanian masih menjadi sektor yang strategis untuk diperhatikan di Indonesia. Masih tingginya tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini menandakan pentingnya sektor pertanian dalam kerangka upaya-upaya pengurangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan pendapatan, dan peningkatan kemakmuran masyarakat. Perbaikan kualitas sumberdaya manusia di pertanian dan pedesaan, melalui pendidikan dan kesehatan, menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan daya saing petani Indonesia. Demikian juga, perbaikan akses keluarga tani terhadap sumber-sumber daya produktif menjadi keharusan untuk terus diperluas dan ditingkatkan.
Oleh: Harianto
(Staf Khusus Presiden RI Bidang Pangan dan Energi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar