Jika yang sedang digulung fitnah dahsyat pada Mei 1998 itu bukan Prabowo Subianto, seorang anak patuh dari Soemitro Djojohadikusumo niscaya ibukota sudah melebur menjadi abu.
Banyak jurnalis Barat mengungkap, sesungguhnya Prabowo merupakan seorang menantu Panglima Tinggi Jenderal Soeharto yang pada 1998 ia sedang berada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah. Karirnya yang demikian cemerlang di militer dan posisinya sebagai menantu Presiden Soeharto serta kepribadiannya yang lurus mengundang banyak pendengki di kanan kiri. Sementara keluarga Cendana mendadak berubah sikap padanya hanya karena telah terprovokasi para pedengki ambisius jabatan dan posisi.
Air mataTitiek Soeharto menjadi saksi, bagaimana putri Soeharto ini tak berhenti menangis. Suami yang sangat dicinta saat itu tengah berada dalam kondisi terfitnah. Dan ironisnya, keluarga besarnya tidak berpihak pada suaminya. Posisi Prabowo sangat tidak menguntungkan. Prabowo bersama sejumlah petinggi militer lain yang telah mati-matian mempertahankan stabilitas keamanan justru difitnah akan menggulingkan kekuasaan Soeharto. Alasannya, karena Prabowo dekat dengan sejumlah tokoh reformis macam Amin Rais.
Titiek tak dapat berbuat banyak. Ia berada dalam kungkungan sebuah keluarga militerisme yang notabene hanya tunduk pada satu perintah. Dan Si pemilik perintah adalah ayahnya. Tak pernah terbayang seumur hidupnya, perjalanan rumah tangganya akan berakhir tragis sedemikian rupa. Putranya, Didiet jelas akan sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada ayahnya.
Dan apa yang ditakuti Titiek menjadi kenyataan. Pada tanggal 20 Mei 1998, Prabowo diusir dari Cendana....
Sandiwara tragis sedang berlaku di negeri ini. Prabowo, di mata rekan militer, ia banyak didengki perwira tinggi karena miliki segudang keajaiban prestasi dan beraliran putih. Di mata Soeharto yang tak lain adalah mertuanya ia dituduh pengkhianat karena pro rakyat. Sementara di mata rakyat Prabowo diklaim sebagai kaki tangan Soeharto. Prabowo kala itu benar-benar berada dalam kondisi terjepit. Setelah apa yang ia lakukan selama ini untuk negeri, bangsa dan tanah air. Setelah apa yang ia perbuat selama hidupnya untuk militer, dan setelah apa yang ia korbankan untuk rakyat, kini ia malah dikeroyok beramai-ramai.
Yang tak dapat dipercaya adalah bagaimana sejumlah perwira tinggi dengan tega hati menyebarkan isu kepada masyarakat bahwa dirinya adalah penanggung jawab dari seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang Mei 1998. Sungguh, itu adalah pembunuhan karakter yang sangat keji! Tak hanya sampai disitu, dan ini menjadi bukti kejahatan fitnah. Prabowo pun ditamatkan karirnya pada 25 Mei 1998.
Prabowo tak pernah menyangkal kedekatannya dengan para tokoh reformasi, tapi bukan niatnya untuk menjatuhkan kekuasaan Cendana. Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando Strategis Angkatan Darat) adalah seorang Jenderal yang murni berlatar belakang prajurit tempur. Perang baginya bukan hal baru dan bukan barang tabu. Menaklukkan ibukota baginya saat itu bukanlah perkara sulit. Di belakangnya ada puluhan ribu prajurit dan perwira tinggi yang siap mengadu nyawa demi Prabowo. Untuk mengkudeta pemerintahan, saat itu sesungguhnya Prabowo benar-benar sedang berada di atas angin. Namun di otak Sang Jenderal putih ini tak pernah terlintas mengkhianati bangsa dan negerinya sendiri.
“Saya tahu kebanyakan pasukan saya akan mematuhi perintah saya. Tapi saya tidak ingin mereka mati karena berperang membela jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas diri saya. Saya membuktikan bahwa saya adalah prajurit yang setia. Setia pada negara, setia pada republik.” renung Prabowo kala itu.
Prabowo hanya tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah antara sipil dan militer. Ia datangi Amin Rais dengan sebuah permohonan pribadi, ia katakan pada Amin, jangan kerahkan massa untuk aksi turun ke jalan. Keinginannya hanya negeri yang tetap kondusif. Itu atas insiatifnya pribadi. Putra Sumitro ini cinta negaranya lebih dari dirinya dan nyawanya sendiri. Sayangnya, ia gunakan metode lilin dalam berprinsip. Menerangi yang lain tapi membakar diri sendiri.
Setelah didengki oleh banyak rekan Pati (Perwira Tinggi) militer, setelah dinonaktifkan dari dinas militer, setelah dituduh pengkhianat oleh mertua, setelah dipisahkan dari istri dan anak, setelah rumah tangganya hancur berantakan, setelah publik menuduhnya sebagai dalang penculikan terhadap aktivis, ia mengalami shock. Rasa kecewa yang sangat luar biasa. Sakit hati dan perih hanya Tuhan yang lebih Maha Mengetahui. Hebatnya Jenderal satu ini, ia tidak mendendam. Ia lebih memilih bungkam. Lalu Sang Jenderal putih ini hanya bisa pasrah kepada Tuhannya yang ia jadikan sebagai pembela abadinya....
Sesungguhnya jika yang sedang digulung fitnah dahsyat pada Mei 1998 itu bukan Prabowo Subianto, jika ia bukan seorang anak patuh dari Soemitro Djojohadikusumo niscaya ibukota sudah melebur menjadi abu.....
Author : Ibnu Umar Junior
Author : Ibnu Umar Junior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar