Catatan Lietarsi 2015 (1)
oleh. Yusron Aminullah
hanya berhenti menjadi teks, karena teks itu tidak mengantarkan si pembaca pada situasi memahami apa yang dibaca.
oleh. Yusron Aminullah
hanya berhenti menjadi teks, karena teks itu tidak mengantarkan si pembaca pada situasi memahami apa yang dibaca.
Bahkan literasi dapat mengantarkan orang pada anti teks. Karena banyak orang yang membaca dan bahkan memahami apa yang dibaca, tetapi perilakunya justru berlawanan dengan apa yang dibaca. Ia paham humanisme, tetapi perilakunya kapitalis. Ia paham dalam bacaan soal sopan santun, tetapi ia dalam perilakunya arogan dan sombong. Ia paham ragam kepemimpinan, tetapi ia tidak mampu mempraktekkan apa yang ia baca. Banyak periiakunya berlawanan dengan teks yang dibaca.
Dalam pemahaman yang sederhana itulah, saya mencoba memberi catatan sederhana tentang literasi berkaitan dengan musibah air asia.
Pertama, kenapa dunia internasional memuji bangsa Indonesia--- yang dimotori BASARNAS---karena dapat segera berhasil menemukan titik musibah dan kemudian berlanjut dengan tangis dan air mata karena ditemukannya korban hingga teridentifikasi. Karena bangsa ini, bisa membaca dan mengaktualkan kata MUSIBAH.
Kata musibah diartikan dengan sangat tepat oleh bangsa ini dengan tidak membahas dan membicarakan. Namun dengan sikap gotong royong, semua sendi bangsa merasa ikut merasa sedih, sakit dan kemudian tidak diam, tetapi bangkit mengatasi. Bahkan dalam konteks penyelamatan, tidak ada kata saling salah menyalahkan. Apalagi oleh masyarakat luas. Justru yang kemudian tidak cerdas dengan literasi adalah para pejabat yang saling menuding soal perizinan penerbangan.
Kedua, Tentara Nasional Indonesia, patut dibanggakan, Baik yang berada di Basarnas, maupun dikesatuan TNI AL, AU dan AD, serta Kepolisian RI terlihat nyata mereka sudah melek literasi. Masyarakat jadi paham, betapa mereka BerILMU, memahami teks yang kontesktual dalam kaitannya dengan musibah.
Kita patut bangga sebagai bangsa, bahwa aparat kita tidak berhenti MEMBACA dan BELAJAR. Sehingga ketika ditantang oleh keadaan, mereka mampu menjawab tidak hanya dengan kata kata, tetapi tindakan langsung, mempraktekkan apa yang mereka baca dan ketahui.
Ketiga, selain jasa literasi tekstual, saya ingin memberikan catatan kenapa musibah AirAsia menjadi musibah yang menyentak hati masyarakat Indonesia --- maaf meski korbannya kebanyakan dari WNI Keturunan CIna---, sementara musibah yang sama di Malaysia kata seorang kawan, tidak menjadi kegelisahan seluruh warga Malaysia.
Karena ini peran bahasa lokal. Seluruh warga keturunan Cina asal Surabaya itu, hampir bisa dipastikan fasih berbahasa Jawa, bahkan Jawa kasar Suroboyoan. Anda kalau di pasar, Bandara atau tempat umum, mereka selalu fasih dan akrab menyapa dengan bahasa Suroboyoan. Baik sesama mereka atau dengan orang asli Surabaya. Hal ini yang menguatkan ikatan persaudaraan antar anak bangsa.
Berbeda dengan di Malaysia, semua orang keturunan Cina selalu menggunakan bahasa aslinya. Sama sekali tidak paham bahaya melayu. Demikian juga orang India dan lainnya. Bahasa komunikasi mereka Bahasa Inggris. Sehinga ikatan emosi mereka tipis sebagai anak bangsa yang sama. Itulah kelebihan Indonesia. Warga keturunan Cina di Madura akan fasih berbahasa Madura, mereka tinggal di Kaltim, akan paham bahasa lokal dan seterusnya.
Yang menjadi catatan penting adalah, literasi dan berbahasa bukanlah berdiri sendiri. Tetapi ia adalah bagian dari sebuah proses berbangsa.
Pedang Bermata Dua
Dan, agar tulisan ini dinilai tidak asal, dan disebut hanya “othak atik gathuk”, saya meminjam istilah Prof Budi Darma, mengapa makna lietrasi bisa menjadi luas, jawabannya terletak pada makna litera itu sendiri, yaitu, sebuah istilah, bagaikan pedang bermata dua, semua tepinya sama sama tajamnya. Di satu sisi, litera menuntut seseorang untuk memahami huruf dalam bentuk MEMBACA dan di sisi lain, dengan kemampuannya memahami huruf, seseorang dituntut juga “menciptakan huruf” dalam bentuk MENULIS.
Dalam bahasa pak Budi Darma, seseorang yang tidak buta huruf, tetapi tidak memahami peta jalan dengan baik. Berarti literasi peta jalannya buruk. Seseorang yang tidak buta huruf, tetapi tidak memahami hukum berarti literasi hukumnya tidak baik. Dan seseorang yang tidak buta huruf tetapi tidak bisa “membaca” situasi zaman berarti juga pemahamannya terhadap situasi zaman tidak baik.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita melek literasi sesungguhnya ? Atau hanya melek literasi dalam kaitannya dengan membaca ?
Karena gerakan minat baca yang hanya mengandalkan agar orang mau membaca, tanpa pernah mengkaitkan dengan kontekstualnya teks yang dibaca, itu baru langkah awal seorang pejuang literasi. Ditunggu langkah lanjutan yang lebih mensejarah. ***
Yusron Aminullloh,
TBM Rumah Belajar MEP Jombang : 8 Januari 2015.
Dalam pemahaman yang sederhana itulah, saya mencoba memberi catatan sederhana tentang literasi berkaitan dengan musibah air asia.
Pertama, kenapa dunia internasional memuji bangsa Indonesia--- yang dimotori BASARNAS---karena dapat segera berhasil menemukan titik musibah dan kemudian berlanjut dengan tangis dan air mata karena ditemukannya korban hingga teridentifikasi. Karena bangsa ini, bisa membaca dan mengaktualkan kata MUSIBAH.
Kata musibah diartikan dengan sangat tepat oleh bangsa ini dengan tidak membahas dan membicarakan. Namun dengan sikap gotong royong, semua sendi bangsa merasa ikut merasa sedih, sakit dan kemudian tidak diam, tetapi bangkit mengatasi. Bahkan dalam konteks penyelamatan, tidak ada kata saling salah menyalahkan. Apalagi oleh masyarakat luas. Justru yang kemudian tidak cerdas dengan literasi adalah para pejabat yang saling menuding soal perizinan penerbangan.
Kedua, Tentara Nasional Indonesia, patut dibanggakan, Baik yang berada di Basarnas, maupun dikesatuan TNI AL, AU dan AD, serta Kepolisian RI terlihat nyata mereka sudah melek literasi. Masyarakat jadi paham, betapa mereka BerILMU, memahami teks yang kontesktual dalam kaitannya dengan musibah.
Kita patut bangga sebagai bangsa, bahwa aparat kita tidak berhenti MEMBACA dan BELAJAR. Sehingga ketika ditantang oleh keadaan, mereka mampu menjawab tidak hanya dengan kata kata, tetapi tindakan langsung, mempraktekkan apa yang mereka baca dan ketahui.
Ketiga, selain jasa literasi tekstual, saya ingin memberikan catatan kenapa musibah AirAsia menjadi musibah yang menyentak hati masyarakat Indonesia --- maaf meski korbannya kebanyakan dari WNI Keturunan CIna---, sementara musibah yang sama di Malaysia kata seorang kawan, tidak menjadi kegelisahan seluruh warga Malaysia.
Karena ini peran bahasa lokal. Seluruh warga keturunan Cina asal Surabaya itu, hampir bisa dipastikan fasih berbahasa Jawa, bahkan Jawa kasar Suroboyoan. Anda kalau di pasar, Bandara atau tempat umum, mereka selalu fasih dan akrab menyapa dengan bahasa Suroboyoan. Baik sesama mereka atau dengan orang asli Surabaya. Hal ini yang menguatkan ikatan persaudaraan antar anak bangsa.
Berbeda dengan di Malaysia, semua orang keturunan Cina selalu menggunakan bahasa aslinya. Sama sekali tidak paham bahaya melayu. Demikian juga orang India dan lainnya. Bahasa komunikasi mereka Bahasa Inggris. Sehinga ikatan emosi mereka tipis sebagai anak bangsa yang sama. Itulah kelebihan Indonesia. Warga keturunan Cina di Madura akan fasih berbahasa Madura, mereka tinggal di Kaltim, akan paham bahasa lokal dan seterusnya.
Yang menjadi catatan penting adalah, literasi dan berbahasa bukanlah berdiri sendiri. Tetapi ia adalah bagian dari sebuah proses berbangsa.
Pedang Bermata Dua
Dan, agar tulisan ini dinilai tidak asal, dan disebut hanya “othak atik gathuk”, saya meminjam istilah Prof Budi Darma, mengapa makna lietrasi bisa menjadi luas, jawabannya terletak pada makna litera itu sendiri, yaitu, sebuah istilah, bagaikan pedang bermata dua, semua tepinya sama sama tajamnya. Di satu sisi, litera menuntut seseorang untuk memahami huruf dalam bentuk MEMBACA dan di sisi lain, dengan kemampuannya memahami huruf, seseorang dituntut juga “menciptakan huruf” dalam bentuk MENULIS.
Dalam bahasa pak Budi Darma, seseorang yang tidak buta huruf, tetapi tidak memahami peta jalan dengan baik. Berarti literasi peta jalannya buruk. Seseorang yang tidak buta huruf, tetapi tidak memahami hukum berarti literasi hukumnya tidak baik. Dan seseorang yang tidak buta huruf tetapi tidak bisa “membaca” situasi zaman berarti juga pemahamannya terhadap situasi zaman tidak baik.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita melek literasi sesungguhnya ? Atau hanya melek literasi dalam kaitannya dengan membaca ?
Karena gerakan minat baca yang hanya mengandalkan agar orang mau membaca, tanpa pernah mengkaitkan dengan kontekstualnya teks yang dibaca, itu baru langkah awal seorang pejuang literasi. Ditunggu langkah lanjutan yang lebih mensejarah. ***
Yusron Aminullloh,
TBM Rumah Belajar MEP Jombang : 8 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar