Dalam Pilpres 2014 yang lalu, saya melihat ada sosok taipan yang turut meramaikan salah satu pasangan yang bertarung yaitu Jokowi-Jusuf Kalla. Mereka adalah Alim Markus dari Jawa Timur dan Syofan Wanandi dari Jakarta. Kedua taipan ini muncul secara terang-terangan, baik di pertemuan yang memperkenalkan capres Jokowi, di tempat terbuka maupun disiarkan oleh beberapa TV swasta. Bahkan ada informasi, Sofyan Wanandi, aktivis mahasiswa 1966 yang kini sebagai Ketua Apindo disebut-sebut akan mengisi salah satu anggota dewan pertimbangan Presiden Jokowi-JK, bersama Megawati, Surya Paloh, Wiranto dan Solehhudin Wahid serta Sutiyoso.
Munculnya dua taipan ini, saya teringat sebuah buku berjudul “money and power in Hongkong and South-east Asia” yang ditulis oleh Joe Studwell tahun 2007. Joe Studwell, juga mendiskripsikan bukunya dengan lebih menarik dalam tulisan berjudul di Asian Godfather.
Dalam tulisan ini, Studwell menggunakan penelusuran historis, khususnya pada Asian Godfather Bagian I yaitu “Godfather Era Dulu” yang menyebut nama presiden Soeharto dan beberapa kroninya. Selain Soeharto, Studwell, Juga mengutip penguasa di Asia Tenggara lainnya seperti Mahatir, Lee Kuan Ywe dan Marcos. Keempatnya dituding sebagai otokrat utama Asia Tenggara. Keempat penguasa di Asean ini ditulisnya memiliki pandangan yang sama yakni rasis tentang kehidupan. Tulisan Studwell ini oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai berita bagus bagi para godfather.
Menurut Studwell, sejarah para godfather Asia Tenggara selalu merupakan sejarah orang-orang yang bisa menyesuaikan identitas diri yaitu pemecahan etnis dalam kekuasaan politik sekaligus ekonomi. Studwell juga memaparkan bagaimana godfather di Asean terbentuk dan menguat secara politis.
Asean Godfather yang ditulisnya terkait dengan tabir perkawanan (kolusi) antar pengusaha dan penguasa di wilayah Asia Tenggara. Dalam bukunya, Studwell mencoba melakukan analisa eko-politik, yang menggambarkan dinasti-dinasti ekonomi yang berkolaborasi dengan penguasa lokal. Terutama untuk mempertahankan kekuasaan predatorisme kapital. Artinya sebuah predatoris ekonomi yang ingin hidup berlebihan, membutuhkan jaminan lisensi-lisensi oligopolistik. Diantaranya dari hasil suap kepada para penguasa yang dikritiknya berperan sebagai "kolonial lokal".
Dalam buku itu, Studwell menyebut “keluarga kerajaan kapitalisme kroni” di Asia Tengara, jumlahnya sangat sedikit dan tidak berganti. ‘’keluarga’’ yang digambarkan ini dapat bertahan lama, meski ada pergantian kepemimpinan politik (presiden). Mengapa kehidupan ‘’Keluarga’’ itu bisa terjadi lama dan hidup berlebihan?. Studwell bercerita tentang kisah-kisah mereka melakukan “lobi-lobi, menyuap, mengancam, membujuk dan merayu dengan menceritakan banyak kebohongan yang bagus-bagus.” Dengan serangkaian metode itu, ‘’keluarga’’ ini makin meneguhkan posisinya secara kapital sekaligus menguatkan dirinya menjadi godfather.
Selain itu, ‘’keluarga’’ ini dikenal sebagai orang yang sangat mahir memanfaatkan inefesiensi ekonomi domestik. Misalnya turut melakukan tender tertutup, proyek tunjukkan, privatisasi yang berbau KKN, dan terputusnya tenaga kerja baru dengan dunia kerja nyata. Proses penggemukan bisnis ‘’keluarga’’ ini kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bank yang memungkinkan terjadinya sirkulasi uang dari pemerintah ke mereka. Alhasil, praktik bisnis nepotismenya itu makin membuatnya bertambah kaya-raya. Salah satu penopangnya, karena mereka tidak mau membayar pajak secara normal. Kemudian bila bisnisnya gagal, mereka akan ditolong oleh pejabat negara dengan menggelontorkan dana talangan dari APBN hasil setoran pajak rakyat. Pola ini berulang dari krisis ke krisis berikutnya. Bahkan tanpa skenario baru dan pemain baru. Cara seperti itu disebut oleh Studwell sebagai pengibulan yang dilakukan secara berulang-ulang, sehingga mereka tetap eksis.
Dalam tulisannya, Studwell mengambarkan para godfather di Asean hampir semuanya berasal dari keturunan China. Hal ini ditujukkan dengan menyebarnya ras China yang dominan dalam perekonomian negara-negara Asia Tengara. Bahkan pada tahun 1993 menurut NRI, ras China kaya di Indonesia mencapai 3.5%, sedangkan di Malaysia mencapai 29%, di Philipina mencapai 2%, Singapura 77%, dan Thailand 10%. Karena itu, nama-nama mereka juga sangat khas China, seperti Lee Shau-kee, Kwok, Li Ka-shing, Tan Yu, Robert Kuok, Kwek Leng Beng, Cheng Yu-tung, Liem Swie Liong, Bob Hasan, William Soeryajaya, Syamsul Nursalim, Usman Atmadjaya dll.
Menurut Studwell, lanskap ekonomi dataran Asia Tenggara sebenarnya dibentuk oleh dua kekuatan sejarah yaitu migrasi dan kolonialisme. Migrasi besar-besaran warga China ke perantauan adalah alasan munculnya kelas pebisnis China. Mereka kemudian bersenyawa dengan para penjajah/kolonial, karena lebih dipercaya daripada pengusaha lokal. Dalam zaman agraris yang lalu, peta Asia Tenggara dikenali sebagai teritori emas yang dahsyat. Kekayaannya melebihi apa yang ada di China dan India. Karena itu, migrasi China ke dataran Asean, terutama Indonesia, mendahului para kolonial Eropa.
Diingat oleh Studwell, Belanda sebagai wakil kolonial pernah memisah bidang ekonomi dan politik. Pemisahan ini adalah bidang politik dikuasai oleh kolonial, sedang bidang ekonomi diserahkan pada ras China. Sementara pribumi hanya dijadikan pekerja kasar dan penonton. Studwell mencontohkan dua taipan China yang dekat dengan penguasa yaitu Bob Hasan dan Liem Sioe Liong (Sudono Salim). Keduanya pada erah Presiden Soeharto, dimasukkan sebagai pekerja ekonomi yang sukses.
Studwell menyebut bahwa hubungan Bob Hasan dan Liem Sioe Liong dengan Suharto, sesungguhnya merupakan hubungan pengusaha dengan Soeharto sebagai “kolonial lokal.” Hubungan perkronian ini dikisahkan oleh Studwell, dalam posisi Soeharto sebagai kolonial lokal memberikan izin bagi beroperasinya usaha lanjut yang dijalankan oleh Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Usaha yang menakjubkan itu berupa penyelundupan-penyelundupan senjata, gandum, hasil hutan, dan gula. Kisah sukses Bob Hasan dan Liem Sioe Liong ini menurut Studwell juga dilakukan oleh beberapa pengusaha china yang berada di balik presiden-presiden sesudah Suharto.
Saya tergelitik atas buku Joe Studwell kali ini, jangan-jangan pada Pilpres 2014 ini, kisah Bob Hasan dan Liem Sioe Liong akan terulang lagi. Maka itu, saya terkesima, ada apa taipan setingkat Alim Markus dan Syofan Wanandi terlibat dalam politik praktis. Asumsi yang dilukiskan Studwell, memang perlu dipikirkan oleh bangsa ini. Salah satunya adalah bagaimana kekuatan sipil yang masih independen mengawasi sepak terjang bisnis taipan-taipan yang dekat atau selama kampanye ini menyokong Capres Jokowi-Jusuf Kalla.
Mengingat sejarah mencatat bahwa pernah terjadi kongsi antara Soeharto, yang digambarkan oleh Joe Studwell sebagai ‘’koloni lokal’’ dengan taipan. Perkongsian mereka adalah menjalanan praktik berdagang dan politik ekonomi.
Menggunakan akal sehat, bila saya diberi otoritas membawa koalisi merah putih menjadi kekuatan oposisi yang benar-benar pro-rakyat (bukan pro-statusqou), koalisi merah putih bisa menjadi opisisi yang lebih hebat dibanding saat PDIP menempatkan diri oposisi. Tugas oposisi yang pro-rakyat antara lain akan mengawasi perilaku segelintir atau segerombol elit bisnis berkekuatan politik dengan ‘’kolonial lokal’’ pasca Soeharto yaitu Jokowi-Jusuf Kalla.
Maka itu, saya tertegun ketika menyaksikan mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, ikut sliweran menjadi mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Sofran berganung dengan Relawan Harmoni. Sofyan, pemilik bisnis Gemala Group, pernah menjadi aktivis mahasiswa tahun 1966. Pria yang sudah menuai tua seperti Akbar Tanjung menilai sosok Jokowi-JK, memiliki latar belakang pengusaha seperti dirinya. Oleh karena itu, ia berharap, Jokowi-JK yang berlatar belakang pengusaha dari bawah bisa paham betul soal permasalahan dunia usaha seperti masalah perijinan.
Pada masanya, kalangan aktivis mahasiswa, mengenal Sofjan, pernah menjadi anggota DPR-RI termuda bersama Cosmas Batubara, Nono Makarim, Fahmi Idris, Abdul Gaffur, David Napitupulu, dan Marie Muhammad.
Sofyan Wanandi, yang ketika pengumuman hasil Quick Qount, 9 Juli 2014 ikut hadir di rumah Megawati, yaitu ramai-ramai merayakan kemenangan. Sejauh ini, Sofyan pernah berbisnis dengan kalangan militer. Antara lain ia dipercayai oleh Yayasan Kostrad untuk memimpin sejumlah perusahaan. Diantaranya Sofyan menjabat Wakil Presiden Direktur PT Dharma Kencana Sakti yang membawahkan PT Garuda Mataram (perakit mobil), PT Mandala Airways, dan PT Dharma Putra Film. Selain memimpin PT Tri Usaha Bakti, yang bergerak di bidang industri, perkapalan, asuransi, dan konstruksi. Kemudian, Sofjan merintis bisnisnya di Grup Gemala. Perusahaa ini mendapatkan modal Dengan surat tanah rumah ayahnya dan gedung CSIS. Gedung CSIS sendiri ia gadaikan setelah mendapatkan lampu hijau dari Ali Murtopo.
Saat ini, Grup Gemala yang dipimpinnya telah mempekerjakan lebih dari 15 ribu tenaga kerja. Tak dapat dicemburuin bilan bisnisnya pun sudah merambah ke Australia dan Kanada. Diantara bisnis yang terkenal adalah perusahaan asuransi Wahana Tata, pabrik aki PT Yuasa Battery Indonesia dan pabrik farmasi.
Berbeda dengan Alim Markus, Bos Maspion Grup. Ketika kampanye Jokowi, Alim ikut dusel-duselan dengan tokoh lain di kediaman Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, Jalan Jemursari VIII no 24 Surabaya, Senin (14/7/2014) malam. Alim Markus, dengan baju batik coklat menyambut Jokowi bersama Rektor UIN Sunan Ampel Prof Ridwan Nasyir UIN, Prof Romdhoni, Rektor Universitas NU dan juga dirut Rumah Sakit Islam dan Hasan Aminudin dari Partai Nasdem.
Alim Markus, adalah putra tertua dari Alim Husein pemilik dan pendiri perusahaan Maspion. Dalam mengelola bisnisnya, Alim Markus, pernah mengikuti rombongan Presiden Megawati ke RRC . Usai lawatan ini, Alim tergoda memindahkan industrinya ke RRC.
Bisnis yang dikelola bersama adik-adiknya kini pecah. Perpecahan bersumber dari transaksi jual-beli tanah PT Bumi Maspion (Maspion IV) di Romokalisari, Gresik, dan di kawasan PT Maspion Industrial Estate (Maspion V) di Manyar, Gresik. Tanah ini ditaksir bernilai Rp 300 miliar. Kini, Alim Satria, sudah keluar dari Maspion grup, karena tidak ada kecocokan dengan Alim Markus.
Ada yang unik dari Alim Markus dbanding Soyfan Wanandi, sepak terjang Alim Markus dalam bisnis juga agak remang-remang. Selain pernah ditahan di Mabes Polri era Kapolri masih dijabat Jenderal Da’i Bachtiar, bos Maspion grup itu juga pernah diperiksa Polda Jatim, terkait jual-beli tanah bermasalahan. Penahanan di Mabes Polri terkait bisnis bank gelap. Atas kelihaiannya, perkaranya mandek ditengah jalan. Selain itu, Alim Markus, juga pernah diperiksa di Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemeriksaan oleh penyidik KPK terkait dengan korupsi penjualan tanah milik perusahaan BUMN, PT Barata Indonesia, di Jalan Raya Ngagel 109 Wonokromo Surabaya. Alim Markus diperiksa KPK pada tahun 2012 bersama Presiden Direktur PT Siantar Top Tbk, Shindo Sumidomo atau Asiu. PT Siantar, bergerak dalam usaha makanan kecil di Sidoarjo, Jawa Timur.
Bisnis Alim Markus yang dimulai dari membuat perabot rumah tangga dari plastic berbendera Maspion Grup, kini taipan yang pernah mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) di bidang Ilmu Ekonomi dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, juga mengelola aset properti seperti Maspion Mall, Wisma Maspion, Wisma Moneter, Pondok Maspion, CIMAC, PT Bintang Osowilangun, PT Maspion Industrial Estate, PT Alumindo Industrial Estate, dan PT Altap Prima Industrial Estate. Dengan mermabah bisnis property, Alim Markus bermimpi bisa mendirikan sebuah lokasi export processing zone.
Alim Markus, termasuk arek Suroboyo yang beruntung. Dalam Daftar Orang Terkaya dii Indonesia 2010 Versi Forbes, Alim Markus & keluarga menduduki peringkat ke 37 dengan kekayaan sebesar 140 juta USD. Dalam usahanya, Alim Markus membanggakan kesuksesannya membangun Kawasan Industri Maspion seluas 300 hektar yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Disamping itu ia juga ekspansi di Jakarta dengan mendirikan Plaza Maspion. Ekspansinya ini hasil kerja sama dengan perusahaan-perusahaan kelas atas seperti Grup Samsung, Korea dan Grup Marubeni, Jepang.
Secara akal sehat, koalisi merah putih bisa mengkritisi sepak terjang taipan-taipan yang dalam Pilpres 2014 mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Artinya taipan-taipan itu tidak hanya Alim Markus dan Syofan Wanandi, yang mendukung Jokowi-JK. Mengapa taipan-taipan yang tidak pernah berpolitik berani berpolitik terang-terangan mendukung Jokowi-Jusuf kalla dan bukan Prabowo-Hatta. Ada apa? Benarkah karena pertimbangan Jokowi-Jusuf Kalla, adalah pengusaha dari bawah. Apakah tidak mungkin akan meneruskan perkronian yang pernah dibangun Bob Hasan dan Liem Sioe Liong era ‘’Kolonial Lokal’’ presiden Soeharto. Saya berharap saat sudah dilantik menjadi Presiden Indonesia ke-7, Jokowi tidak mempraktikan gaya Soeharto yang mewujudkan dirinya sebagai "Kolonial Lokal" yang melayani taipan-taipan pertemanannya. (bersambung, tatangistiawan@gmail.com) Share.Surabaya pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar