SIAPA raja Jawa terbesar sepanjang zaman? Para sejarawan boleh saja menyebut Panembahan Senopati sang pendiri Kerajaan Mataram atau Sultan Agung Hanyokrokusumo yang pernah dua kali menggempur VOC di Batavia. Namun jika pertanyaan itu dilontarkan kepada para sepuh di Yogyakarta saat ini, maka mereka akan menyebut nama Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mengapa dia?
Saat dalam bus kota menuju Bantul, seorang perempuan tua yang duduk di sebelah saya menyebut kebaikan, kesederhanaan dan kemurahan Sri Sultan semasa hidup adalah yang menjadikannya dekat di hati rakyat. Begitu pula saat pertanyaan sama saya ajukan kepada seorang petani bernama Soewarso di wilayah Krebet, dengan takzim ia menyebut nama yang sama sebagai seorang raja terbesar tanah Jawa.
“ Semasa hidupnya Ngarsa Dalem meskipun seorang raja, tidak pernah bersikap tinggi hati kepada rakyatnya…” ujar lelaki paruh baya tersebut dalam bahasa Jawa halus.
Almarhum Alam Surawidjaja pernah menjadi saksi betapa rendah hatinya Sri Sultan. Pada akhir 1970-an, sutradara legendaris itu tengah syuting untuk pembuatan filmJanur Kuning di Yogyakarta. Begitu masuk adegan pembicaraan antara figur Letnan Kolonel Soeharto dengan figur Sri Sultan di Prabuningratan sebelum Serangan Oemoem 1 Maret 1949, dengan rasa tidak enak, Alam menyatakan kepada Sri Sultan yang hadir saat itu mengenai posisi Pak Harto dalam adegan tersebut.
Dalam kejadian sebenarnya, saat itu Pak Harto yang memakai pakaian abdi dalem istana duduk di kursi yang tanpa lengan, sebaliknya Sri Sultan duduk di kursi yang berlengan. Itulah posisi simbolis ketika seorang raja Jawa menerima tamunya atau abdinya. Namun kenyataan ini dinafikan oleh Pak Harto. Alih-alih menuruti skenario film yang mengacu kepada cerita sesungguhnya, Presiden Republik Indonesia ke-2 ini malah menginginkan adegan itu dirubah dengan menjadikan ia dikisahkan duduk dengan bentuk kursi yang sama dengan Sri Sultan, pertanda posisinya setara dengan seorang raja Jawa. Tersingungkah Sri Sultan dengan keinginan Pak Harto itu?
Dalam wajah tersenyum, Sri Sultan hanya berkata, “ Ya wis, biarkan jika itu maunya dia,” ujarnya kepada Alam.
Sesungguhnya sudah banyak kisah kesederhanaan dan kerendahan hati yang dimiliki oleh lelaki yang dilantik sebagai raja pada 18 Maret 1940 itu. Salah satunya yang termasyhur adalah kisah “kepasrahannya” ketika pada 1950-an, sebagai seorang Menteri Negara ia ditilang oleh seorang polisi berpangkat rendah di Pekalongan kala ia melanggar peraturan lalu lintas secara tak sengaja. Atau kebiasaan dia memakai kaos kaki bolong yang karetnya sudah kendor hingga perlu diperkuat oleh karet gelang.
Sumbangan Sri Sultan kepada Republik Indonesia (RI) juga sangat besar. Selain ikut membeayai perlengkapan TNI yang masih balita saat itu, ia juga ikut andil sebagai donatur utama logistik bagi para pengungsi dan sandang pangan papan para pejabat RI. Bung Hatta bahkan menyebut jumlah bantuan Sri Sultan mencapai 5 juta gulden. Ketika pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda, Hatta pernah menawarkan penggantian uang tersebut kepada Sri Sultan. Seperti biasa, raja Jawa itu hanya menjawabnya dengan senyum saja.
Saat tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta pada Juni 1949, otomatis TNI harus masuk ke kawasan yang kala itu berstatus sebagai ibu kota RI tersebut dan membuat serah terima kekuasaan dari para peninjau PBB. Masalah muncul karena saat itu kondisi pakaian para anggota TNI sangat tidak layak, rombeng-rombeng karena terlalu lama berperang di hutan-hutan.
Demi menjaga harga diri TNI di depan para peninjau PBB dan tentara Belanda, Sri Sultan lantas membongkar kembali kas pribadinya untuk dibelikan sejumlah seragam militer yang sangat layak lengkap dengan baretnya. “ Itulah pertama kali baret digunakan di lingkungan TNI…” tulis Drs. Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949. Jadi kalau kita menyaksikan foto-foto dokumenter penyerahan kedaulatan yang memperlihatkan para prajurit (termasuk Pak Harto saat itu) tengah berpose dalam seragam yang keren, jangan salah itu karena uangnya Sri Sultan!
Sebagai Menteri Negara dan Koordinator Keamanan RI, pasca penyerahan kedaulatan, Sri Sultan dengan Land Rover-nya kerap blusukan ke seluruh wilayah Yogyakarta untuk memeriksa keadaan rakyat. Tak jarang ia melakukannya sendirian. Letnan Kolonel Pranoto Reksosamodra, Komandan Brigade IX Divisi III (terakhir berpangkat Jenderal, carateker Menteri Panglima Angkatan Darat, sebelum dijebloskan ke penjara oleh Pak Harto) memiliki pengalaman mengesankan saat mengawal Sri Sultan.
Ceritanya, sekembali blusukan dari wilayah Tempel, mereka menyaksikan asap mengepul dari arah selatan Pabrik Gula Medari. Rupanya itu adalah kelakuan tentara Belanda yang geram dan sebelum mundur menumpahkan drum-drum berisi minyak residu ke sungai yang ada di sana lalu membakarnya.
Demi melihat situasi itu, dengan tangkas, Sri Sultan membanting setirnya, keluar dari jalur utama dan memotong dengan jalan pintas melalui tanah pesawahan dan jalan desa yang berbatu dan masih ditumbuhi semak-semak belukar. Begitu sampai ke lokasi, mereka lantas berloncatan dan dengan menggunakan pacul yang tadinya tersandar pada dinding-dinding rumah penduduk, menimbuni api yang menjalar itu dengan pasir hingga padam.
Lain kesempatan, saat blusukan di Kota Gede secara tiba-tiba Sri Sultan menghentikan Land Rover-nya lantas melangkah menuju pasar. Di hadapan seorang perempuan penjual beras ia sekongyong-konyong berhenti dan berjongkok sambil memegang butiran beras-beras.
“ Niki disade pinten mBok salitere?” tanya Sri Sultan menanyakan harga beras seliternya.
Sambil senyum-senyum genit, perempuan itu menjawab, “ Mirah kemawon kok Maass.” Morah kok, katanya.
Saat transaksi masih berlangsung dengan akrabnya, tiba-tiba seorang pedagang tua yang mengenal Sri Sultan berseru: “ Heh, aja wani-wani kuwi Ngarsa Dalem!” (Heh, kamu berani-beraninya sama Sri Paduka!)
Kontan gegerlah situasi pasar tersebut. “ Orang-orang seisi pasar itu semuanya berjongkok saat mengetahui kehadiran rajanya di tempat itu…” kenang sang jenderal seperti dinukil dalam biografinya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra: Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Peristiwa unik yang terkait dengan penjual beras kembali dialami Sri Sultan beberapa waktu kemudian. Suatu hari pulang blusukan sendirian, di Desa Godean Land Rover-nya dihentikan oleh seorang penjual beras yang sudah sepuh. Ia lantas menghentikan jip buatan Inggris itu ke pinggir dan segera turun. Belum sempat mengeluarkan sepatah kata, perempuan tua itu berseru: “ Niki, karung-karung beras niki diunggahake!” Rupanya, sang penjual beras yang tak mengenal wajah Sri Sultan mengira raja Jawa itu sebagai sopir angkutan beras yang biasa membawa para pedagang ke Pasar Kranggan di wilayah kota Yogyakarta.
Tanpa banyak cakap, Sri Sultan pun mengangkat dua karung besar beras ke bagian belakang kendaraannya. Sementara itu sang penjual beras tanpa meminta izin menaiki jip dan duduk di samping Sri Sultan. Sepanjang jalan, mereka ngobrol dengan akrabnya hingga sampai di tujuan. Tanpa diperintah, Sri Sultan pun keluar dari mobil dan dengan tangkas menurunkan karung-karung tersebut.
Begitu selesai, penjual beras itu lantas merogoh kemben usangnya dan mengeluarkan uang lembaran dan disodorkan ke Sri Sultan. Lelaki ramah itu tersenyum dan menggelengkan kepala. Disikapi seperti itu, alih-alih berterimakasih, sang penjual beras malah ngomel-ngomel, dikiranya “sang sopir” tidak mau menerima “ongkos” karena jumlah uangnya yang kurang. Dengan sabar, Sri Sultan mengatakan,” Pun boten sisah, Mbakyu.” Artinya: tidak usah bayar, Mbak. Tanpa banyak bicara, ia lantas memacu Land Rover-nya ke arah keraton.
“ E, eeee…Diwenehi duwit kok nampik. Sumengkean temen ta sopir kuwi,” gerutu penjual beras itu. Ya, siapa yang tak berkata demikian di zaman susah itu jika ada sopir angkutan yang begitu “belagu” menampik duit.
Kendaraan Sri Sultan sudah berlalu, namun perempuan itu tetap saja mengomel. Tanpa disadarinya sudah lama prilakunya disaksikan banyak orang yang ada di sekitarnya. Seorang polisi lantas menghampiri penjual beras itu dan memberitahu jika “sopir” yang baru diomelinya itu adalah Ngarsa Dalem.
Bukan main kagetnya penjual beras itu. Bahkan saking kagetnya, ia lantas terhuyung-huyung dan jatuh pingsan hingga dilarikan ke RS. Bethesda. Kejadian itu lantas berkembang dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga Sri Sultan. Demi mendengar si penjual beras yang mengomelinya itu masuk rumah sakit, raja Jawa itu bergegas datang untuk menengok salah satu rakyat yang selalu dijadikannya sebagai raja di hatinya.
Dengan semua sikap dan sepakterjangnya itu, saya rasa ia memang wajar menjadi yang terbesar. (hendijo)
Share.http://arsipindonesia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar