Pages

Jokowi dan Ketimpangan Ekonomi Indonesia

Kamis, 31 Juli 2014

Ketimpangan Dan Program Ekonomi Jokowi
oleh. Simarmata95
Pendahuluan
Pada penampilan pertama rangkaian debat Capres Pilpres 2014, Jokowi mengangkat isu ketimpangan dalam ekonomi Indonesia. Secara kebetulan atau memang telah menjadi perhatiannya, isu tersebut adalah salah satu masalah ekonomi vital dan merupakan isu hangat global sekarang ini. Di sisi lain Jokowi menyatakan bahwa beliau akan memusatkan perhatian pada kehidupan rakyat banyak, yang mungkin adalah faktor vital dari keterpilihannya dalam Pilpres yang lalu. Ketimpangan pada gilirannya akan bertalian dengan isu kemiskinan, yang masih merupakan bagian hidup kebanyakan rakyat, yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Begitu vitalnya topik ketimpangan sehingga lembaga WEF (World Economic Forum) menjadikannya sebagai salah satu isu terkait dengan potensinya menjadi pemicu krisis sejak tahun 2012 hingga 2014. WEF dikenal sebagai lembaga yang amat memuja sistem kapitalisme global, sehingga perhatiannya pada isu tersebut, baik ketimpangan penghasilan maupun ketimpangan kekayaan agak mengherankan sejumlah orang. Hal itu memicu pengamat mencari alasan lebih detil yang mendorong WEF sampai mengangkat isu ketimpangan dalam laporan dan juga pembahasannya di Davos. Orang yakin bahwa kapitalisme hanya tertarik pada masalah peningkatan kekayaan tanpa mempersoalkan bagaimana distribusinya dalam masyarakat.
Secara kebetulan Thomas Piketty, penulis buku berjudul “Capital in the twenty-first Century” menjadi apa yang disebut sebagai “rock-star economist” sebab bukunya telah menjadi bestseller di Amerika Serikat dan juga di banyak negara maju. Agak terkesan berbeda dari judul bukunya, sebenarnya Piketty membahas masalah ketimpangan ekonomi. Antara lain dia mempersoalkan situasi bahwa seseorang yang memiliki harta warisan besar dapat tidak perlu bekerja untuk hidupnya, dapat jauh lebih makmur dari orang yang bekerja keras. Dari sisi ekonomi tentu hal ini bertentangan dengan konsep ekonomi yang sehat, di mana seharusnya setiap orang harus hidup dari hasil kerjanya. Kajian teoretis penulis tentang ekonomi memberi kesimpulan bahwa dengan konsep ekonomi “mainstreams”, ketimpangan akan terjadi melalui mekanisme internal ilmu ekonomi. Piketty menyambut artikel penulis yang dikirim untuk menyambut penerbitan bukunya, dan dia membalas dengan pernyataan “very interesting”. Tokoh seperti Stiglitz, lembaga OECD, Krugman, dan sebagainya telah mengeluarkan pendapat yang mengeritik ketimpangan ekonomi pada umumnya, tetapi terutama yang terjadi di negara maju. OECD menerbitkan hingga beberapa publikasi tentang kaitan antara ketimpangan dengan pertumbuhan ekonomi. Stiglitz menyatakan bahwa ketimpangan ekonomi Amerika Serikat adalah faktor penghambat pemulihan ekonomi negara itu. Sungguh satu kesimpulan yang diametral dengan pendapat banyak ekonom.
Mungkin Jokowi tidak memikirkan arti pernyatannya dalam bahasa teknis seperti peningkatan indeks Gini dalam ekonomi Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2013, dari yang tadinya sekitar 0,32/0,33 tahun 2004 menjadi 0,41 tahun 2013. Periode tersebut ialah era pemerintahan SBY, yang menempatkan sederet ekonom sebagai pejabat inti bidang ekonomi, yang juga dilengkapi dengan Komite Ekonomi Nasional (KEN) dibawah pimpinan konglomerat Chairul Tanjung. Lebih jauh menurut Davies et al tahun 2008, indeks Gini kekayaan Indonesia 0,763 pada saat koefisien Gini penghasilan berada pada 0,396 dan bila tahun 2013 telah naik ke 0,41 maka indeks Gini kekayaan itu pasti lebih tinggi lagi. Ketimpangan itu memang kasat mata dalam ekonomi Indonesia, yang dapat disaksikan dalam etalase “autodrome” kota DKI Jakarta serta JABODETABEK hingga kota-kota besar lain di Indonesia. Autodrome penulis gunakan mengungkapkan pernyataan bahwa Jakarta telah menjadi etalase semua merek mobil mewah serta jumlahnya yang terus meningkat, sehingga jalan lebih mengutamakan mobil dibanding dari manusia pejalan kaki. Dalam situasi tersebut terlihatlah kemacetan Jakarta yang makin menggila. Tetapi disamping itu ketimpangan dapat disaksikan melalui rumah-rumah mewah, apartemen mewah, yang berdampingan langsung ataupun tidak langsung dengan pemukiman kumuh yang kontras. Proses penampilan ketimpangan terlihat juga dari bagaimana pasar tradisional makin terkikis akibat masuknya pasar modern dalam bentuk hipermarket, mall dan jaringan minimarket yang menggurita dalam kota. Perancis sebagai negara asal dari Carrefour, justru melarang hipermarket di tengah kota, sedangkan Indonesia yang dicontohkan oleh Jabodetabek terlihat lebih cenderung mendukung pembangunan hipermarket besar-besaran di tengah kota, malah dianggap sebagai indikator kemajuan. Padahal ini tidak lain dari proses “penggusuran cum penghancuran” para pedagang eceran tradisional, milik rakyat banyak yang menyebar dalam wilayah kota. Dengan jelas sistem yang berkembang ialah pendukung pasar moden kapitalistik yang dimiliki oleh segelintir orang.
Sistem Ekonomi Yang Dapat Kurangi Ketimpangan.
Dari data industri BPS terbitan tahun 2010 tentang perusahaan besar dan menengah diperoleh informasi bahwa total keseluruhan pengeluaran untuk buruh dibanding dengan nilai tambah industri hanya berada pada tingkat 10 persen, sedang di DKI-Jakarta, rasio itu hanya sekitar 5 persen. Ini sungguh lebih kecil dari yang lumrah baik di negara berkembang apalagi di negara maju. Kajian teoretis penulis seperti tersebut sebelumnya menunjukkan bahwa dengan prinsip yang ada dalam ilmu ekonomi “mainstream”, ketimpangan adalah konsekwensi logis dari konsep ekonominya. Dalam kajian tersebut diperoleh bahwa berdasarkan konsep penentuan upah buruh dan imbal-balik modal (return to capital), pengusaha atau pemilik modal memperoleh bagian yang lebih besar dari seharusnya, seandainya orang menggunakan prinsip ekonomi yang tepat. Peningkatan upah buruh, yang adalah bagian terbesar dari konsumen dalam masyarakat, akan meningkatkan daya beli yang jauh lebih besar, sehingga meningkatkan volume produksi. Peningkatan upah buruh itu akan dilaksanakan dengan melakukan pembagian adil dari adanya penurunan biaya satuan. Umumnya dalam tiap sistem produksi selalu diperoleh bahwa peningkatan volume produksi akan menurunkan biaya satuan. Dalam situasi pasar persaingan hal itu menurunkan harga jual sehingga pada putaran berikunya meningkatkan daya beli konsumen. Proses tersebut  akan berputar dan akan bermuara pada peningkatan daya serap buruh akibat peningkatan produksi. Berarti dalam kadar yang tepat, peningkatan upah buruh akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya tampung buruh, asalkan sistem produksi tidak berpindah pada otomatisasi proses. Secara serentak, peningkatan upah dengan formula yang tepat akan juga mengurangi ketimpangan penghasilan.
Dalam sektor pertanian terjadi pengerdilan terus menerus lahan pertanian per keluarga sehingga tidak akan mampu mendukung kehidupan keluarga yang sehat. Sejak lama setalah Reformasi (yang gagal) terlihat adanya preferrensi pemberian izin perkebunan besar, dan makin meminggirkan pertanian kecil atau pertanian rakyat. Ternyata kajian ilmiah menyatakan bahwa produktivitas per hektar petani kecil lebih tinggi dari pertanian lahan besar seperti dalam perkebunan. Sayang data BPS hasil surve pertanian tidak mengandung informasi seperti ini. Ini menuntut perlunya perobahan kebijakan pertanian di Indonesia, bila ingin memperbaiki kehidupan petani, baik melalui distribusi penghasilan maupun dalam pengentasan kemiskinan, yang secara agregat akan mengurangi ketimpangan. Bila dalam pertanian diperoleh peningkatan produktivitas, pengadaan pangan akan dapat ditingkatkan dan diharapkan malah akan mendukung pencapaian kedaulatan pangan dalam negeri dengan lebih baik. Adanya perbaikan produktivitas pertanian yang diakibatkan oleh “ukuran lahan pertanian kecil” akan lebih besar lagi bila sumbangan penelitian pertanian dimanfaatkan lebih tepat lagi, baik dari sisi penelitian bibit unggul, peningkatan daya tahan hama tanaman, serta pencarian modus pertanian dengan kebutuhan air yang makin kecil. Hal vital di sini ialah adanya peningkatan produktivitas dari pengusahaan lahan kecil.
Bila sistem upah buruh diperbaiki seperti dinyatakan sebelumnya (dengan formula tepat), harga beras dengan sendirinya dapat ditingkatkan tanpa dampak inflasi berarti, sehingga akan memperbaiki tingkat penghasilan petani keseluruhan. Sistem ini akan secara serentak memperbaiki ekonomi Indonesia, di mana peningkatah penghasilan buruh serta petani pedesaan akan meningkatkan daya serap produk industri dan pelayanan. Dalam situasi saat ini, kecenderungan konsumen buruh dan petani kecil pasti masih pada produksi hasil industri dalam negeri (perlu pengawasan mutu dari pemerintah) sehingga akan memajukan ekonomi nasional, misalnya sektor industri dalam negeri. Dalam perkembangan saat ini, konsumen kelas atas sudah tidak perlu dirisaukan, sebab secara keseluruhan dampak dari perbaikan upah buruh dan penghasilan petani akan berdampak positif bagi ekonomi nasional keseluruhan. Ini adalah kebijakan ekonomi yang perlu dilaksanakan sehingga sasaran Presiden Terpilih Jokowi dalam rangka perbaikan hidup rakya banyak serta mengurangi ketimpangan dapat tercapai. Terpilihnya pak Jokowi dianggap mengusung perubahan dalam segala segi kehidupan, dan dalam bidang ekonomi hal itu sungguh menuntut perobahan pengelolaan ekonomi yang makin timpang.
PembangunanPrasarana
Presiden terpilih telah menyatakan perlunya revolusi mental bagi bangsa Indonesia, di mana salah satu jalur yang dikumandangkan adalah dalam bidang pendidikan, yang harus dibekali nilai-nilai baru bagi pembentukan warga bangsa selain diberikan pengetahuan ilmu dan teknologi. Demikianpun dalam bidang kesehatan, maka pembentukan warga negara sehat adalah modal pertama untuk memperbaiki kehidupan masing-masing dan keluarga. Pak Jokowi datang dengan dua kartu: kartu pintar dan kartu sehat dalam tingkat nasional. Pelaksanaan dalam tingkat nasional tidak lain dari perluasan dari apa yang telah dilaksanakan di DKI, sehingga dapat dikatakan hanya berupa pengulangan walaupun tentu ada perbedaan masalah. Dua bidang ini tentu adalah prasarana vital bagi pembangunan ekonomi. Kedua bidang tersebut dapat dikatakan sebagai prasarana perangkat lunak, software infrastructure.
Tetapi dalam menghadapi kebutuhan rakyat yang mendesak, perlu kelompok prasarana lain seperti dalam bidang prasarana fisik maupun non-fisik. Sistem birokrasi yang sehat dan bebas korupsi adalah prasyarat keberlangsungan semua kegiatan yang efisien dan efektif. Revolusi mental tentu tidak langsung dapat memetik hasil, sehingga dalam jangka pendek perlu ada tindakan lain yang mampu memperbaiki kinerja birokrasi. Jokowi telah mempunyai pengalaman banyak dalam pembenahan sistem birokrasi walaupun pada tingkat lebih rendah, sejak dari rekrutmen pejabat melalui lelang jabatan, “blusukan” yang merupakan pelengkap prosedur operasi standar, dan sebagainya. Pembenahan suprastruktur birokrasi adalah langkah vital bagi pelaksanaan semua program pemerintah yang tepat.
Selama kampanye Presiden terpilih banyak berbicara tentang membuat Indonesia mencapai tingkat harga yang relatif sama di semua tempat, yang beliau canangkan melalui pembangunan to laut. Ide ini banyak diperdebatkan orang terutama dari para profesional terkait, sebab memang berada “out of the box”, di luar ruang pembicaraan keilmuan yang biasa. Untuk menjadikan ide besar itu menjadi “inside the box”, maka dia perlu mendapat kajian dari ilmu standar, yaitu dalam konteks sistem transportasi dan logistik, yang juga disentuh oleh Jokowi selama kampanye. Indonesia mempunyai kebutuhan prasarana transportasi yang berbeda dari kebanyakan negara di dunia, yang untuk kebutuhan dalam negeri paling tidak harus ada prasarana angkutan daran dan laut. Kedua mode angkutan vital tersebut harus dibangun sedemikian sehingga bepergian dari satu pulah ke pulau lain harusnya terasa seolah-olah pindah moda angkutan di stasiun bis atau stasiun kereta api, walaupun orang pindah dari moda angkutan darat ke angkutan laut dan sebaliknya. Tuntutan ini hanya dapat dipenuhi bila dalam titik perpindahan antar-moda dibangun sistem terminal terpadu, intgrated terminal system.
Dari sudut pandang biaya angkutan, moda angkutan laut adalah yang paling murah tetapi dengan waktu perjalalan lebih lama. Dari pengalaman di dunia, angkutan laut memang lebih dipusatkan bagi angkutan barang. Ini tentu amat sesuai dengan konsep tol-laut Jokowi bagi angkutan barang dalam wilayah nasional. Bila dalam perdagangan internasional ditemui apa yang disebut sebagai “the law of one price”, maka konsep pak Jokowi adalah terjemahan dari tingkat internasional ke ruang lingkup dalam negeri. Sungguh menyedihkan mendengar harga semen di Papua yang dapat sampai dua-puluh kali harga di pulau Jawa, tetapi juga dalam bahan makanan, sandang, dan sebagainya. Tetapi untuk melaksanakan konsep itu perlu membangun pelabuhan laut yang sesuai dalam beberapa kota pelabuhan, seperti di Jayapura, Manado, atau yang lain di Indonesia Timur. Angkutan laut dalam konteks konsep tol-laut itu hendaknya dipandang sebagai “angkutan laut perintis” sebagai padanan penerbangan perintis dulu.
Dalam konteks angkutan darat, sistem angkutan jalan raya dengan angkutan kereta api seyogyanya saling melengkapi sedemikian, tetapi dengan sasaran membentuk sistem angkutan darat yang lebih efisien serta lebih murah. Kereta api adalah angkutan darat yang mempunyai biaya angkut lebih rendah dibanding dengan moda angkutan jalan raya, terutama dalam biaya sosial yang mencakup biaya lingkungan. Dalam angkutan barang, kereta api hendaknya melengkapi diri sedemikian sehinga jenis pelayanan “door to door” yang merupakan kelebihan dari angkutan jalan raya dapat diperoleh oleh gabungan kereta api dengan sistem angkutan truk yang sesuai. Pembangunan jalan tol dari Jakarta ke Surabaya hanya akan menjadikan sistem transportasi yang mendukung “high cost economes”, ekonomi biaya tinggi. Perlu membangun angkutan darat yang bersifat komplementer dan substitutif, dan hal ini membutuhkan reorganisasi sistem angkutan darat sebagai satu sistem terpadu. Pada hakekatnya dua sub-sistem itu masing-masing membentuk sistem jaringan, yang mempunyai karakteristik monopoli alamiah. Pemanfaatan karakteristik ini akan menghasilkan biaya angkutan darat optimal yang sekecil-kecilnya. Inilah yang dapat mendukung sistem ekonomi nasional dengan “low cost economies”, ekonomi biaya rendah.
Integrasi angkutan laut dan darat kembali hendaknya juga memanfaatkan karakteristik komplementer dan substitutif, di mana sistem pelabuhan nasional hendaknya berada dalam jaringan dengan adanya “hub and spoke” ports. Ini hendaknya menjadi bagian dari pengembangan sistem perhubungan nasional yang juga perlu mempertimbangkan perhubungan udara, terutama untuk angkutan orang, sedangkan untuk angkuta barang hingga kini masih terbatas. Sudah jelas bahwa antara semua sub-sistem angkutan perlu terintegrasi yang pada gilirannya akan membentuk sistem angkutan nasional yang efisien dan efektif dengan biaya terkecil, lebih ramah lingkungan, dan merupakan integrator ekonomi nasional, tetapi juga menjadi integrator sosial dan budaya. Yang terakhir ini berarti dicapai dengan pariwisata yang makin meningkat antar daerah. Dan sistem angkutan nasional yang terintegrasi akan juga menjadi landasan perdagangan antar pulau yang mendukung spesialisasi regional sehingga masing-masing daerah mampu memperoleh tingkat produktivitas setinggi-tingginya. Dari jaringan prasarana dan sarana angkutan nasional, akan dapatlah disusun sistem logistik dalam sistem perdangan baik untuk tujuan dalam negeri maupun untuk perdagangan internasional.
Dalam konteks prasarana angkutan nasional, jaringan jalan dalam semua tingkatannya memiliki posisi vital yang menghubungkan pusat-pusat produksi dan pusat-pusat pemasaran dan konsumsi. Dari data BPS diperoleh bahwa 50 persen penduduk Indonesia masih berprofesi petani, yang umumnya masih tinggal di pedesaan. Sistem pertanian lahan kecil (optimal) seperti dihasilkan oleh kajian ilmiah di depan hendaknya mendapat dukungang sistem angkutan darat, yang tidak saja dari prasarananya tetapi juga dari sarana, seperti truk pengangkut produk pertanian. Data intensitas jaringan jalan di Indonesia amat rendah dibanding dengan sesama negara berkembang lain sehingga masih banyak potensi produksi di daerah terisolir yang belum dieksploitasi. Bersamaan dengan jaringan jalan, jaringan irigasi adalah juga prasarana dasar vital bagi daerah pedesaan, yang terutama amat dibutuhkan dalam mencapai sasaran kedaulatan pangan. Tetapi adalah merupakan situasi umum bahwa pembangunan jaringan irigasi yang tidak dilengkapi dengan jaringan jalan akn menghambat pengangkutan hasil padi dari sawah irigasi, bila irigasi telah dibangun. Tetapi pembangunan jaringan jalan adalah bersifat kebutuhan umum sebab jalan dibutuhkan oleh kegiatan lain selain mendukung persawahan.
Sistem pelabuhan yang mendukung kegiatan nelayan perlu mendapat perhatian pemerintah baik untuk tempat berlabuh yang dilengkapi pusat-pusat pendinginan (refrigerator) ikan hasil tangkapan para nelayan, bila kapal-kapal nelayan belum dilengkapi dengan refigerator yang dibutuhkan. Berhubung pelabuhan juga adalah tempat pangkalan kapal-kapal nelayan maka distribusi/pompa bahan bakar perlu tersedia di setiap pelabuhan nelayan. Perhatian pada kegiatan nelayan amat perlu diberikan pemerintah yang akan datang, sebab selain adanya kartu sehat, maka asupan nutrisi yang sehat dari ikan sungguh vital bagi pengembangan anak-anak, dan untuk orang tua dapat mendukung makanan non-kolesterol.
(bersambung)
share.kompasiana

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

Tidak ada komentar:

 
Copyright © 2015. PRESIDEN ber-NYALI.
Design by . Published by Themes Paper. Powered by .
Creative Commons License