Oleh: Alex Palit
Penolakan Jokowi atas pengadaan kendaraan dinas mobil baru bagi pejabat tinggi pemerintahan dari Sekretariat Negera (Setneg) ada yang setuju karena ini dianggap sebagai pemborosan keuangan negara.
Sementara ada pula yang menilai bahwa penolakan pengadaan kendaraan dinas mobil baru ini tak lebih dari trik politik pencitraan diri yang dilakukan oleh Jokowi yang dicitrakan berkepribadian merakyat, jujur dan sederhana.
Entahlah sampai kapan Gubernur DKI Jokowi yang kini jadi presiden terpilih di Pilpres 2014 ini terus-terusan memainkan politik pencitraan diri. Kepiawaian Jokowi dalam memoles diri dan memainkan politik pencitraan ini memang cukup ciamik.
Dengan gaya kepemimpinan yang blusukan bukan saja telah mencuatkan nama Jokowi sebagai sosok pemimpin yang merakyat, tapi juga jujur dan sederhana. Pesona merakyat, jujur dan sederhana inilah yang kini begitu melekat dalam citra diri Jokowi.
Dalam memainkan politik pencitraan ini tak jarang Jokowi menggunakan pola menggunting dalam lipatan dengan menggunakan cara pandang kuman di seberang lautan tampak sementara gajah di pelupuk mata tak tampak.
Seperti ketika menyoal penolakan pengadaan dinas mobil baru yang diadakan oleg Setneg dianggap pemborosan keuangan negara dengan pertimbangan alasan mobil lama tetap bisa digunakan.
Masuk diakal juga alasan ini. Lalu bagaimana dengan kasus mark up proyek pengadaan pembelian bus Transjakarta yang bukan saja merugikan keuangan negara, didalamnya juga terindikasi adanya tindak korupsi?
Untuk soal pemborosan keuangan negera terkait pengadaan kendaraan dinas mobil baru oleh Setneg ini Gubernur DKI Jakarta yang akan dilantik Presiden Indonesia 2014 pada 20 Oktober nanti cukup lantang menyuarakannya.
Sayang untuk kasus mark up pengadaan bus Transjakarta yang didalamnya terindikasi terjadi tindak korupsi, suara Jokowi tidak selantang ketika menyikapi pengadaan kendaraan dinas mobil baru oleh Setneg.
Padahal publik sangat berharap di sisa waktunya sebelum dilantik sebagai Presiden Indonesia 2014, Jokowi menuntaskan kasus bus Transjakarta yang didalamnya yang menyandera namanya selaku Gubernur DKI Jakarta.
Justru penuntasan kasus korupsi bus Transjakarta yang juga menjado sorotan publik ini tak kalah penting untuk pula disuarakan secara lantang, dibuka secara terang benderang dan dituntaskan, sehingga nantinya saat meninggalkan Balai Kota tidak tersandera oleh kasus tersebut.
Kok lebih malah cawe-cawe meributkan soal pengadaan pengadaan kendaraan dinas mobil baru oleh Setneg yang jadi kewenangan pemerintahan SBY. Sementara urusan kasus bus Transjakarta kok malah diabaikan.
Langkah kongkrit penuntasan kasus bus Transjakarta ini justru tak kalah pentingnya untuk menunjukkan adanya political will Jokowi dalam menangani kasus korupsi yang ikut menyandera nama dirinya selaku pejabat Gubernur DKI Jakarta. Apalagi kasus ini sudah cukup lama mencuat di pemberitaan media, sekaligus juga menjadi gunjingan publik.
Dari bandingan dua kasus ini kalaupun kemudian disandingkan, di sini memperlihatkan sensitivitas Jokowi sebagaimana disebut di pribahasa kuman di seberang lautan nampak sementara gajah di pelupuk mata tan nampak.
Di mana dari dua model kasus ini bila dibandingkan, yang satu menyangkut pemborosan keuangan negara, satunya menyangkut korupsi keuangan negara. Pastinya rakyat di sini punya kemampuan memilah dan menilai, mana yang seharusnya menjadi kapasitas dan prioritas perhatian Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta sebelum dilantik resmi menjadi Presiden Indonesia pada 20 Oktober nanti.
Dari dua bandingan kasus ini hendaknya Jokowi tidak terus-terusan memainkan politik pencitraan, karena rakyat kini sudah kritis dan cerdas dalam menilai.
Termasuk sudah kritis dan cerdas dalam menilai sensitivitas antara pengadaan kendaraan dinas mobil baru bagi pejabat tinggi pemerintahan dan kasus mark up pengadaan bus Transjakarta yang didalamnya terindikasi tindak kurupsi.
Share * Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar